"Sayang, hentikan. Nanti Yasima tahu, aku tidak ingin semuanya terbongkar dengan cara seperti ini," lirih Zehra, suaranya bergetar.
Ketika aku mengambil segelas air dari dapur, namun tiba-tiba, telingaku menangkap suara bisikan yang menggelitik rasa penasaran. Awalnya samar, seperti tawa kecil yang tak terduga di malam yang sepi itu.
Aku mengernyit, menghentikan langkahku. Bisikan itu semakin jelas. Seketika rasa curiga muncul, memaksaku untuk mendekati sumber suara yang seakan memanggilku.
Suara itu berasal dari kamar tamu yang kuberikan untuk Zehra---sekretaris sekaligus sahabat terbaikku. Pintu kamarnya sedikit terbuka, cukup untuk suara-suara itu keluar.
Namun, yang membuat darahku seakan berhenti mengalir adalah suara suamiku, Syar, yang juga terdengar dari balik pintu itu.
Hatiku mulai mencelos. Napasku tercekat, tidak mampu beranjak. Apa yang sedang terjadi di balik pintu itu?
"Yasima sedang di kamar, aku tidak bisa menahan kerinduanku padamu," bisik Syar, suaranya dalam dan penuh hasrat.
Aku menutup mulutku dengan tangan, gemetar. Rasa dingin menjalari seluruh tubuhku. Aku memaksakan diriku untuk melangkah, mendekat, meski hati kecilku berteriak agar aku mundur, agar aku tidak melihat apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Namun kakiku terus melangkah.
"Tunggu, Sayang," Zehra melanjutkan, "Kita bisa melakukannya lain kali, bukan di kamar ini. Ini milik Yasima."
"Aku tahu ini rumah Yasima," jawab Syar dengan suara rendah, "Tapi kamu juga istriku. Aku berjanji setelah ini kita akan membeli apartemen di dekat kantor Yasima. Kita akan lebih mudah tinggal bersama, dan bisa merawat putri kita dengan lebih baik."
Pintu itu sedikit berayun ketika aku menyentuhnya. Dan di baliknya, pemandangan yang membuat seluruh duniaku runtuh dalam sekejap mata: Syar, suamiku, duduk di pinggir ranjang dengan tangan masih melingkar di tubuh Zehra.