Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Perlukah Kumpul Kebo untuk Mengenal Pasangan Sebelum Menikah?

7 Desember 2022   14:18 Diperbarui: 7 Desember 2022   14:38 2076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kumpul kebo (kohabitasi). | Freepik/Noxos

Bagi sebagian individu, pacaran saja dianggap tidak cukup untuk mengenal sifat dan karakter asli pasangan sebelum memutuskan untuk menikah. Apakah kumpul kebo dapat menjadi solusinya?

Kumpul kebo atau yang kerapkali dikenal dengan istilah kohabitasi, selalu menjadi subjek obrolan yang ngeri-ngeri sedap di antara netizen Indonesia. Terlebih, topik semacam itu masih dipandang tabu dan bertabrakan dengan norma agama serta budaya ketimuran.

Tak banyak orang yang berani mengulas tema hangat itu secara terbuka. Namun, sebuah kicauan selebritas Twitter belum lama ini berhasil menarik atensi netizen +62 yang budiman. Reaksinya beragam, baik yang pro maupun yang kontra.

Dalam kicauannya itu, Aurelia bertanya-tanya kepada para pengikutnya, "Di luar pertimbangan mengenai agama, apakah kumpul kebo diperlukan sebelum kalian memutuskan buat menikahi pasangan?"

Menyikapi teka-teki itu, sebagian besar netizen mengatakan, kumpul kebo tidak dibutuhkan. Mereka menganggap bahwa kohabitasi tidak seirama dengan norma agama dan budaya bangsa, sehingga tak pantas dipraktikkan. Bagi mereka, masih banyak cara lain yang lebih aman untuk mempersiapkan bahtera rumah tangga.

Meski sama-sama dilahirkan dari rahim budaya ketimuran, ternyata ada banyak kalangan yang menganggap sebaliknya. Mereka menilai, kumpul kebo sangatlah dibutuhkan untuk memahami pasangan lebih dalam sebelum menuju pelaminan.

Kubu yang pro menilai bahwa kohabitasi menjadi cara yang ideal untuk mengenal sifat, karakter, dan kebiasaan pasangan, yang mana hal itu sukar dilakukan kalau sebatas berpacaran secara konvensional alias tak tinggal serumah. Hambatan itu muncul lantaran intensitas komunikasi serta pertemuan yang kurang memadai.

Mereka merasa khawatir kalau ada sifat, karakter, serta kebiasaan pasangan yang tidak sejalan dengan prinsip dan standar yang mereka yakini. Seiring berjalannya waktu, menurut mereka, perkara remeh dalam kehidupan sehari-hari umumnya sulit ditoleransi dan bisa menjadi faktor pemicu keributan pada masa depan.

Selain itu, kohabitasi juga dipilih karena adanya rasa takut yang begitu besar akan risiko perceraian. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari komentar netizen yang mendukung gaya hidup kumpul kebo.

Dengan tinggal di bawah atap bangunan yang sama, tanpa janji setia pernikahan, mereka merasa bisa terhindar dari risiko kehancuran rumah tangga. Sebab, dalam hubungan kumpul kebo, tidak ada istilah cerai. Mereka hanya akan mengenal kata putus–seperti hubungan pacaran–kalau sudah merasa tak cocok lagi untuk hidup seatap dengan pasangannya.

Agar memudahkan kita guna memahami kumpul kebo dari perspektif pelaku, saya mewawancarai cewek asal Jogja bernama Mawar–nama samaran. Sepanjang kisah asmaranya, dia mengaku, sudah tiga kali menjalani kohabitasi dengan tiga cowok yang berbeda.

Kohabitasi, menurutnya, adalah sebuah medium untuk memahami sisi personal pasangan yang amat sulit terlihat dalam hubungan konvensional. Dengan hidup seatap, dia ingin mengenal karakter dan kebiasaan pasangan dalam keseharian.

Paling lama, cewek 24 tahun ini pernah menjalin kohabitasi dengan kekasihnya selama empat tahun. Adapun hubungan kohabitasi dengan cowok kedua, hanya berjalan selama dua tahun. Selama satu tahun belakangan, dia juga hidup seatap di sebuah kos eksklusif dengan seorang cowok yang akan menikahinya.

Meski sudah menjalin kohabitasi dengan cowok pertama selama empat tahun, tak semerta-merta membuat hubungannya berakhir di pelaminan. Kisah asmaranya kandas lantaran sang kekasih kedapatan menghianati cintanya. Ya, selingkuh.

Agaknya memang sangat sulit unuk tak melibatkan aktivitas skidapapap dalam pola hubungan kohabitasi kendati para pelakunya acapkali mengatakan bahwa kumpul kebo bukan soal aktivitas seks. Mawar sendiri pun mengaku, dia telah berhubungan badan dengan kekasihnya yang pernah tinggal seatap dengannya.

Kohabitasi Bukan Solusi

Secara bahasa, meskipun bernama kebo, sejatinya kohabitasi tak ada kaitan sama sekali dengan kerbau. Pola hubungan itu sudah dikenal sejak era kolonial Belanda, yang awalnya disebut koempoel gebouw.

Dalam kaidah Belanda, gebouw bermakna rumah atau bangunan. Jadi, arti koempoel gebouw adalah berkumpul di bawah satu atap bangunan. Dengan lidah Indonesia, artikulasi gebouw berubah menjadi kebo.

Istilah kumpul kebo lazimnya digunakan saat dua orang yang tidak terikat jalinan pernikahan, hidup bersama serta terlibat dalam ikatan hubungan romantis/intim. Pola hubungan itu umumnya melibatkan aktivitas seksual dalam jangka panjang, terlepas pelakunya memiliki niat untuk menikah atau tidak.

Lalu, apakah kumpul kebo bisa menjadi solusi untuk menekan risiko perceraian atau setidaknya bisa menjadi cara yang ampuh untuk mengenal pasangan lebih mendalam?

Mayoritas orang dewasa muda percaya bahwa kohabitasi adalah cara yang baik untuk menguji serta mengukur kualitas pasangan sehingga akan meningkatkan stabilitas pernikahannya kelak.

Namun, makin banyak penelitian yang justru membuktikan sebaliknya. Banyak pasangan kohabitasi di Amerika Serikat yang cenderung tidak menikah dengan bahagia dan hubungannya justru lebih mungkin berakhir di sidang perceraian.

Di sisi lain, laporan dari National Survey of Family Growth (NFSG) Amerika Serikat menemukan bahwa wanita yang menikah pada usia antara 22 dan 30, tanpa terlebih dahulu menjalani kumpul kebo, memiliki tingkat perceraian paling rendah.

Kemungkinan perceraian yang jauh lebih tinggi dijumpai pada pasangan kumpul kebo. | IFSStudies.org
Kemungkinan perceraian yang jauh lebih tinggi dijumpai pada pasangan kumpul kebo. | IFSStudies.org

Masih menurut data yang sama, dalam riwayat perkawinan ribuan wanita di AS, wanita yang menjalin kohabitasi dengan pasangannya memiliki kemungkinan 15 persen lebih besar untuk bercerai.

Konklusi itu seirama dengan penelitian berjudul "Cohabitation Experience and Cohabitation's Association With Marital Dissolution". Studi itu mengungkapkan, pasangan yang hidup bersama sebelum menikah memiliki level perceraian yang lebih rendah pada tahun pertama masa pernikahannya. Ingat, tahun pertama.

Akan tetapi, tingkat perceraiannya akan meningkat signifikan setelah memasuki usia lima tahun masa pernikahan. Tentu skenario itu bukan hal yang diharapkan lantaran pernikahan adalah janji seumur hidup, bukan hanya setahun-dua tahun.

Perbandingan tingkat kepuasan hubungan antara kohabitasi dengan pernikahan di Amerika Serikat. | PawResearch.org
Perbandingan tingkat kepuasan hubungan antara kohabitasi dengan pernikahan di Amerika Serikat. | PawResearch.org

Sementara jika merujuk pada hasil riset yang diinisiasi oleh Paw Research, orang dewasa yang menikah memiliki tingkat kepuasan hubungan serta kepercayaan yang lebih tinggi daripada mereka yang tinggal serumah dengan pasangan yang belum menikah alias kumpul kebo.

Terlalu Berisiko

Jika dirangkum, menurut hasil sejumlah studi tersebut, kohabitasi justru memicu hubungan yang kurang sehat dan tidak stabil. Probabilitas kandasnya hubungan dan risiko perselingkuhannya juga lebih tinggi. Begitu pula dengan risiko adanya kehamilan serta potensi kekerasan fisik dan emosional yang makin meningkat.

Meski serumah, pelaku kumpul kebo tak akan memperoleh jaminan kebahagiaan dan fasilitas yang sama dengan apa yang didapatkan oleh pasangan dalam jalinan pernikahan resmi, khususnya jika hal itu berkaitan dengan aspek hukum.

Selain risiko-risiko di atas, kumpul kebo kini juga berpotensi melanggar hukum. Dalam RKHUP yang baru saja disahkan oleh DPR, larangan kumpul kebo diatur pada pasal 412 dengan ancaman 6 bulan penjara.

"Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi pasal tersebut.

Namun, pasal itu menegaskan, kumpul kebo termasuk delik aduan. Bagi pelaku yang belum menikah, aduan hanya bisa dilaporkan oleh orang tua atau anak.

Hindari Kohabitasi

Pengalaman yang dirasakan oleh Mawar dapat menjadi contoh bahwa kohabitasi dalam jangka panjang (4 tahun) pun tak menjamin proses untuk mengenal sifat, karakter, dan kebiasaan pasangan bakal berjalan dengan mulus. Pasalnya, risiko kegagalan dalam pola hubungan kumpul kebo semacam itu sangat tinggi.

Selain kandasnya harapan menikah yang membuat dirinya lebih sulit untuk move on, dia juga mengaku pernah ditipu sang kekasih yang pernah membawa lari uang tabungannya senilai Rp.50 juta.

Sebagai seorang perempuan, dialah pihak yang paling dirugikan. Harapan menikah tak kunjung datang, justru malang yang akhirnya ia dapatkan. Empat tahun tentu bukanlah durasi waktu yang singkat guna melupakan setiap kenangan yang dilalui bersama dalam suka dan duka.

Para pelaku kohabitasi tak akan pernah belajar serta memahami arti menerima kekurangan pasangan. Karena tidak ada ikatan pernikahan, meski sudah tinggal seatap, mereka akan merasa lebih bebas untuk meninggalkan pasangannya usai mengetahui sisi buruk dan kekurangan masing-masing.

Hal itu merupakan alasan paling umum mengapa pasangan kohabitasi akhirnya jauh lebih mudah berpisah. Mereka tidak akan bekerja keras guna menyelamatkan hubungan karena memang tidak terikat cincin pernikahan. Para pelakunya juga memiliki masalah dengan komitmen.

Berada dalam suatu hubungan memang tidaklah mudah, dengan semua potensi masalah yang dapat muncul pada masa depan. Banyak yang lebih memilih untuk "test drive" daripada langsung menikah. Faktanya, tidak ada garansi kumpul kebo akan menjamin jalinan pernikahan yang bahagia pada masa depan.

Kumpul kebo justru bisa meniadakan sisi sakralitas dalam hubungan pernikahan, kalau memang jadi menikah. Selanjutnya pernikahan hanyalah sebatas seremoni tanpa menyisakan kesucian dan kejutan.

Selain amat berisiko, kohabitasi adalah cara paling radikal untuk mengenal sisi personal pasangan sebelum memasuki altar pernikahan. Untuk mengakalinya, filosofi percintaan berikut ini mungkin bisa membantu.

"Pada waktu pacaran (masa pendekatan) bukalah mata dan telinga lebar-lebar dan usai menikah, tutuplah mata dan telinga rapat-rapat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun