Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Ada Kata Azab di Antara (Bencana) Kita

27 November 2022   11:23 Diperbarui: 27 November 2022   14:52 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga melintas di depan rumah yang ambruk akibat gempa di Cibulakan, Cugenang, Cianjur, Rabu (23/11/2022). | Kompas/Firman Taufiqurrahman

Jika memang tak bisa membantu, setidaknya hindari memberi label "azab" kepada saudara-saudara kita yang saat ini tengah tertimpa bencana dan kemalangan. Jangan buat mereka menderita dua kali!

Seringai matahari baru saja melampaui fase tertingginya kala guncangan hebat menghantam lempeng bumi Kota Santri. Pintu-pintu rumah berderik. Bangunan-bangunan pun bergetar. Sebagian retak. Sebagian runtuh.

Raut kepanikan menguar di wajah warga yang mulai berhamburan, meninggalkan pelukan dinding-dinding bangunan yang sempoyongan. Geliat aktivitas warga pun terusik, menyisakan pekik dan panik.

310 manusia tertimbun bangunan, yang selama ini melindungi mereka dari terik dan hujan. Puluhan ribu lainnya dipaksa mengungsi, meninggalkan semua harta benda mereka yang tergilas reruntuhan.

Tak seorang pun yang mengira, gempa dengan kekuatan magnitudo 5,6 bakal mengetuk pintu-pintu rumah warga di Cianjur, Jawa Barat. Setelahnya, ada 236 kali gempa susulan yang membuat tidur mereka kian tidak nyenyak. Kendati tak berskala masif, efek amukannya sudah cukup meremukkan tempat tinggal dan masa depan mereka.

Di tengah tangis saudara-saudara kita yang belum mengering, ada saja orang-orang yang tidak menunjukkan empati dan belas kasih. Alih-alih memberikan santunan dan belasungkawa, label azab lah yang justru mereka muntahkan.

Bak jamur di musim hujan. Setiap kali terjadi bencana alam, akan selalu ada individu atau kelompok tertentu yang menyebutnya sebagai manifestasi azab. Dalam keyakinan mereka, bencana itu ditimpakan sebagai sebuah peringatan serta hukuman atas segala dosa yang dilakukan warga yang menjadi korban.

Pandangan bahwa bencana alam adalah azab memang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, baik dari perspektif agama maupun kearifan lokal. Narasi itu terus direproduksi dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Sebagai sebuah negeri dengan pemeluk Islam terbesar, justifikasi teologis acap digunakan dengan mengutip ayat-ayat Tuhan dan sabda nabi. Guna meyakinkan khalayak, mereka mengangkat kembali kisah-kisah kaum terdahulu yang pernah dibinasakan akibat dosa-dosanya.

Salah satu narasi teologis yang acapkali muncul adalah kisah tentang kaum Nabi Luth. Dikisahkan di dalam Qur'an, Allah menimpakan hujan batu, tanah longsor, serta gempa bumi kepada kaum Sodom secara bertubi-tubi akibat mengingkari ajaran yang dibawa oleh Nabi Luth AS.

Guna mempertegas narasinya, catatan dosa korban bencana mereka fabrikasi sebagai pemicu utama bencana seperti LGBT, kemaksiatan, kebiasaan mabuk dan pesta, atau gaya berbusana seksi.

Adapun dalam perspektif kearifan lokal, sejak belia, kita sudah kenyang didulang asupan cerita mengenai gunung meletus, tanah longsor, banjir, topan, atau gempa bumi yang menerpa manusia pendosa.

Banyak folklor dan legenda di berbagai daerah di Indonesia yang mengisahkan tentang amukan alam akibat kesalahan manusia, seperti manusia yang dikutuk menjadi batu dan binatang atau sebuah desa/kota yang ditenggelamkan hingga berubah menjadi danau.

Kisah-kisah itu memperkuat persepsi di tengah masyarakat bahwa bencana alam adalah bukti nyata adanya murka Tuhan yang disegerakan. Namun, mereka acap melupakan faktor-faktor lain yang bisa dimengerti dengan perspektif ilmu dan logika. Padahal, agama, terutama Islam, mengharuskan para pemeluknya untuk menyelaraskan iman dan akal.

Maraknya narasi azab juga menyingkap tabir bahwa masyarakat kurang memiliki kesadaran mengenai berbagai macam isu lingkungan dan perubahan iklim–meski dampaknya dapat mereka rasakan secara langsung setiap hari di sekitarnya.

Kecenderungan manusia Indonesia yang mengaitkan bencana alam dengan narasi agama juga mengindikasikan bahwa isu-isu lingkungan hidup belum sepenuhnya masuk dalam ruang-ruang keagamaan. Dogma agama dianggap jauh lebih tinggi derajatnya dibanding ilmu pengetahuan.

Guna membantu kita dalam memahami tentang tingginya kecendrungan orang kala memandang bencana sebagai azab, jurnal ilmiah Observer's Reaction to the Innocent Victim: Compassion or Rejection dapat menawarkan alternatif jawaban.

Dari hasil penelitian itu, psikolog Melvin Lerner dan Carolyn Simmons menyebut bahwa kita akan cenderung memandang penderitaan yang dirasakan seseorang, setimpal dengan kualitas perbuatannya.

Menurut mereka, bias ini terjadi lantaran manusia memiliki dorongan fundamental untuk meyakini sebuah dunia yang adil. Dalam perspektif sosio-psikologis, bias kognitif ini disebut sebagai "just-world hypothesis" atau hipotesis dunia-adil.

Banyak orang yang mempercayai bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Begitu pula sebaliknya. Setiap hal positif seorang individu, akan selalu berujung pada kesuksesan. Vice versa. Sebetulnya, narasi itu selaras dengan ajaran agama.

Nahasnya, di Indonesia, kecendrungan orang mengasosiasikan bencana dengan azab, akan kian kencang seiring dengan datangnya tahun politik. Diturunkannya bencana alam acapkali dikaitkan dengan tokoh politik atau entitas pemerintahan tertentu yang dianggap tidak becus atau melakukan banyak kealpaan.

Upaya itu dilakukan guna memperkuat narasi mereka yang sangat tendensius. Tujuannya memang tak jauh-jauh dari kepentingan elektoral pemilu ataupun penggiringan opini. Politisasi agama, dimikian publik biasa menyebutnya.

Menariknya, preferensi politik ternyata juga berperan dalam mengidentifikasi, apakah suatu bencana dapat dikatakan sebagai azab atau ujian. Kalau individu memiliki pilihan dan idola politik yang berbeda, maka itu adalah bentuk azab. Sebaliknya, jika seleranya sama, maka bencana itu hanyalah ujian biasa.

Sebagai makhluk yang berakal, ada tiga faktor yang perlu kita pahami, mengapa menghakimi para korban bencana alam dengan label azab, harus dihindari.

1. Indonesia Rawan Bencana

Indonesia, menurut World Bank, berada pada urutan ke-12 dari 35 negara yang paling rawan bencana. Ada lebih dari 40 persen populasi yang terancam dampak dari fenomena alam esktrem.

Peta indeks rawan bencana di kawasan Indonesia tahun 1815-2012 menurut data BNPB. | BNPB.go.id
Peta indeks rawan bencana di kawasan Indonesia tahun 1815-2012 menurut data BNPB. | BNPB.go.id

Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di titik sambung empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, Benua Indo-Australia, Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Selain itu, ia juga terletak di zona Ring of Fire yang berisi banyak gunung api aktif.

Tak hanya itu, petaka hidrometeorologi juga mengintai kita seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, hingga kebakaran hutan. Bencana alam itu kerap terjadi di negara-negara tropis seperti Indonesia.

Akumulasi seluruh aspek itu membuat daratan Indonesia amat rawan terhadap berbagai bencana alam. Oleh karena itu, kebiasaan untuk selalu mengasosiasikan bencana dengan azab Tuhan merupakan perilaku yang kurang waras.

2. Berstigma Negatif

Menurut KBBI, azab adalah siksa Tuhan yang diganjarkan kepada manusia yang meninggalkan perintah dan melanggar larangan agama. Dari definisi itu, dapat disimpulkan, azab mempunyai konotasi negatif sebab hanya ditimpakan kepada insan-insan yang hina, berlumur dosa.

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Luka dan duka belum juga sembuh, stigma negatif sudah menghantui korban dan penyintas bencana alam. Akibat pelabelan yang tak berdasar itu, mereka menderita dua kali.

Label azab akan menempatkan korban pada posisi yang rendah, seakan-akan merekalah yang menjadi biang bencana, sehingga tak layak untuk didoakan dan dibantu. Beban ganda semacam itu bisa membuat mereka mengalami kesulitan dalam masa pemulihan pascabencana.

3. Bencana Tak Pilih Kasih

Tidak ada satu pun manusia yang bisa menebak kapan bencana bakal datang, terutama bencana geogologi. Mungkin kini gempa bumi menghantam Cianjur. Boleh jadi esok hari bencana juga bakal menyambangi pintu-pintu rumah kita. 

Jika telah tiba waktunya, bencana alam tidak akan memilah-milah siapa yang menjadi korbannya. Kemalangan yang dirasakan oleh warga Cianjur juga bisa menimpa kita kelak.

Oleh karena itu, menjadi penting untuk memahami duka dan penderitaan para korban. Bencana dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, merusak harta benda, dan memaksa banyak orang mengungsi dari rumah mereka. Apakah Anda sudah siap merasakan semua penderitaan itu?

Hindari Kata Azab

Jangan samakan korban bencana alam layaknya sinetron azab di Indosiar atau tabloid Hidayah yang dipenuhi dengan plot yang mengerikan dan kisah-kisah azab yang labay serta tidak masuk akal.

Memang benar bahwa sebagian bencana alam terjadi karena ulah manusia sendiri, tetapi hal itu tak semerta-merta menjadi pembenaran untuk menghakimi korban. Terlebih lagi, dalam Al-Qur’an, bencana alam tidak selalu bermakna azab Tuhan. Ada kalanya ia hanya bagian dari ujian.

Menuding bencana alam yang menimpa masyarakat sebagai azab, sama halnya dengan menganggap diri sendiri paling suci dan mulia. Sebuah sifat yang sangat berlawanan dengan ajaran agama mana pun yang dianut manusia berakal.

Apabila Anda bersikeras meyakini bahwa sebuah bencana alam adalah azab, cukup simpan untuk diri sendiri saja. Gunakan keyakinan itu sebagai sarana instropeksi. Jangan seenaknya menuding kanan-kiri.

Menentukan bencana alam sebagai azab bukan kapasitas seorang makhluk yang kecil dan lemah seperti manusia. Hanya Tuhan Yang Maha Esa lah yang memiliki kapasitas dan hak prerogatif itu.

Posisikan diri Anda di mana kaki korban bencana kini berpijak. Jika memang tak bisa membantu, setidaknya jangan buat mereka menderita berkali-kali!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun