Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dilema Politisasi Ruang Akademik

2 September 2022   14:06 Diperbarui: 3 September 2022   16:11 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kampanye pemilu di kampus. | Kompas.com/Tria Sutrisna

Selain itu, politisasi di ruang akademik juga berpotensi menimbulkan friksi di antara sivitas akademika. Kalau gesekan itu terus berlanjut, dapat berujung pada keterbelahan dan terganggunya proses akademik di perguruan tinggi.

Sejauh pengalaman saya kala menjalani pendidikan di kampus, perebutan kursi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) saja sudah cukup membuat mahasiswa terbelah. Bahkan, adu pukul pun sempat terjadi. Begitu halnya dengan perebutan jabatan struktural yang bisa melahirkan kubu-kubu yang saling bersebrangan di lingkup rektorat.

Kampanye politik di lingkup akademik akan memperbesar peluang terjadinya friksi-friksi yang sudah terlebih dahulu berkutat di sana. Perbedaan pilihan dan pandangan politik yang menyeruak juga dapat memperbesar potensi maraknya diskriminasi antara kubu atau individu yang saling berlawanan.

Alih-alih memupuk daya kritis terhadap fenomena politik di Tanah Air, sivitas akademika justru dikhawatirkan akan terjerumus dalam pusaran politik praktis demi mengejar jabatan politis tertentu.

Situasi itulah yang tidak menyehatkan kampus sebagai institusi pendidikan. Semua skenario buruk itu berpotensi terjadi jika perguruan tinggi tidak siap membangun kultur politik rasional di lingkungan kampusnya.

3. "Pembajakan" Akademisi

Akademisi adalah salah satu entitas yang dilirik partai politik guna menjaring caleg di luar kader internal, kendati jumlahnya tak sebesar kalangan selebritas. Gagasan kampanye di kampus akan memberikan akses bagi elite partai untuk "membajak" akademisi yang dianggap punya prospek cerah untuk bertarung dalam pemilu.

Sebut saja PDIP yang pernah membajak 3 guru besar Ilmu Kesehatan Masyarakat guna dicalonkan dalam Pemilu 2019 lalu. Partai lain pun melakukan taktik serupa.

Pada ajang politik yang sama, PSI bahkan mengklaim telah menjaring caleg berusia di bawah 45 tahun, termasuk juga dosen-dosen muda. Langkah serupa juga akan diambil Perindo dengan merangkul para akademisi untuk dijadikan bakal calon anggota DPR-RI pada Pemilu 2024 nanti.

Kendati tidak dilarang, karena menjadi hak politik setiap warga negara, manuver para akademisi dalam pemilu tentu bisa mengganggu kewajiban mereka sebagai tenaga pengajar di kampus.

Nahasnya, untuk dosen yang berstatus PNS, maka bisa saja kegiatan politik itu dianggal sebagai sikap indisipliner atau pelanggaran kode etik. Sanksi tegas akan menanti apabila mereka terbukti terlibat dalam aktivitas politik praktis.

Pertimbangan itulah yang kiranya perlu diantisipasi oleh internal kampus. Pihak rektorat perlu memberi batasan tentang sejauh apa sivitas akademika diizinkan untuk terlibat dalam aktivitas politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun