Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

"Football Inflation", Tingginya Harga Pemain di Bursa Transfer

3 September 2020   20:15 Diperbarui: 4 September 2020   11:30 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Selebrasi penyerang PSG, Neymar Junior (FRANCK FIFE/AFP) via Kompas.com

Menjelang milenium kedua, saat masih duduk di bangku SD. Uang jajan saya Rp.1000 per hari. Sudah cukup untuk makan siang dan jajan. Kala itu seporsi soto dihargai Rp.500. Sisanya bisa saya belikan camilan. Dua puluh tahun kemudian. Uang saku adik saya sehari Rp.20 ribu, untuk makan Rp.10 ribuan, selebihnya buat jajan.

Hari ini, dengan nominal senilai uang saku saya 20 tahun yang lalu, adik saya bisa-bisa merajuk karena hanya cukup untuk cilok satu dua biji, tanpa makan. Padahal kala itu, dengan nominal Rp 20 ribu saya sudah bisa mentraktir seluruh teman sekelas makan soto.

Neymar, Mbappe, Coutinho, dan Nasser Al-Khelaifi | fichajes.com
Neymar, Mbappe, Coutinho, dan Nasser Al-Khelaifi | fichajes.com
Bercermin dari kebutuhan uang saku tersebut, ada peningkatan harga 20 kali lipat sejak dua dekade silam. Dalam ilmu ekonomi, fenomena kenaikan harga itu dikenal dengan istilah inflasi.

Fenomena inflasi semacam itu faktanya tidak hanya dijumpai di sektor ekonomi, dalam dunia sepak bola pun inflasi bisa terjadi. Salah satunya dapat kita lihat melalui harga pemain di bursa transfer.

Statistik pemain termahal di dunia | statista.com
Statistik pemain termahal di dunia | statista.com
Saat ini Neymar Jr masih tercatat sebagai manusia paling mahal yang pernah menapakkan kakinya di muka bumi atau tepatnya di atas lapangan hijau.

Striker Timnas Samba itu memecahkan rekor pada 2017 silam saat ditebus PSG dari Barcelona senilai release clause-nya, yakni 222 juta euro atau sekitar 3,5 triliun rupiah (kurs saat itu). Harga yang sangat mencengangkan jika dikomparasikan dengan label pemain-pemain terdahulu.

Sebelum Neymar, pemain termahal dunia dipegang gelandang Timnas Prancis Paul Pogba, yang pindah ke Manchester United dari Juventus di musim 2016 senilai 105 juta euro atau setara Rp 1,6 triliun.

Jika dilihat dari nilai transfer kedua pemain tersebut, hanya dalam kurun waktu satu musim saja, terdapat margin yang cukup jauh. Harga Neymar lebih dari 2 kali lipat dari banderol Pogba di tahun 2016. Artinya, bursa transfer mengalami hiperinflasi 100 persen!

Hitungan saya dalam hal uang saku di atas ternyata sejalan dengan hasil investigasi dari seorang penulis sepak bola asal Inggris, Paul Tomkins.

Di laman tomkinstimes.com, Tomkins mengatakan bahwa angka inflasi di sepak bola (football inflation) bisa mencapai sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada inflasi ekonomi normal.

Sebagai contoh, inflasi di Inggris naik dua kali lipat sejak 1992. Sedangkan harga pemain sepak bola naik 20 kali lipat sejak 1992 sampai saat ini. Maka, seorang pemain berlabel 10 juta paun pada 1992 akan memiliki harga sekitar 200 juta paun (225 juta euro) hari ini. Fantastis!

Faktor Kenaikan Harga Pemain di Bursa Transfer
Ekspansi bisnis para taipan di seluruh penjuru dunia memungkinkan uang dalam jumlah besar berputar liar di bursa transfer. Hal itu secara langsung akan memicu klub untuk membelanjakan uangnya secara gila-gilaan. Imbasnya, harga pemain juga akan meningkat seiring banyaknya jumlah uang yang beredar di pasaran.

Era baru industrialisasi dalam dunia sepak bola dimulai saat taipan Rusia Roman Abramovich mengakuisisi saham mayoritas klub raksasa Inggris, Chelsea, pada tahun 2003.

Dengan gelontoran dana tak terbatas itu Chelsea mulai berburu pemain bintang. Kebiasaan mantan klub Frank Lampard dalam membeli pemain mahal tersebut rupanya juga turut mendongkrak tren harga di bursa transfer.

Kondisi semakin diperburuk ketika Sheikh Mansour, melalui Abu Dhabi United Group, melebarkan sayap bisnisnya dengan membeli Manchester City pada tahun 2008. Saat itu, label pemain mulai meroket.

Tiga tahun berselang, harga pemain mencapai fase yang sangat absurd usai PSG diboyong Qatar Sports Investments yang diketuai oleh Nasser Al Khelaifi.

Bagi klub petrodolar tersebut, pemain dengan label harga di atas 50 juta euro terasa seperti menebus "tiket lotre". Puncaknya ketika Neymar direbut dari tangan Barcelona senilai 222 juta euro. Kemudian disusul mega transfer jilid kedua saat memboyong Kylian Mbappe senilai 145 juta euro dari AS Monaco.

Statistik total pendapatan klub-klub di 5 liga top Eropa | statista.com
Statistik total pendapatan klub-klub di 5 liga top Eropa | statista.com
Sejak saat itu, bursa transfer mulai tidak terkendali dan sulit dijangkau nalar. Pembelian pemain dengan label 100 juta euro pun mulai dianggap wajar. Tren ini akhirnya menciptakan efek domino terhadap tim-tim lainnya saat akan membeli pemain.

Barcelona misalnya, harus merogoh kocek senilai 125 juta euro guna merekrut Ousmane Dembele dan Philippe Coutinho seharga 145 juta euro sebagai proyek pengganti Nyemar yang cabut ke PSG.

Klub-klub yang tahu Barcelona memiliki rekening gendut dari hasil penjualan Neymar tentu tidak akan menyerahkan pemainnya dengan harga murah.

Tidak berhenti sampai disitu, Antoine Griezmann juga dicomot dari Atletico Madrid dengan harga yang tak kalah tinggi, yakni sebesar 120 juta euro. Kehilangan ujung tombak, Atletico pun turut mencari suksesor Griezmann. Kemudian Joao Felix menjadi pilihannya dengan label 126 juta euro.

Sejumlah pemain yang saya sebutkan di atas adalah pemain yang berada di deretan 6 pemain termahal di dunia. Efek domino di bursa transfer itu nampaknya belum akan berhenti dalam waktu singkat.

Tuntutan untuk meraih prestasi secara instan akan mengakibatkan klub berbelanja pemain lebih banyak. Terlebih jika ditunjang dengan pendapatan klub yang juga meningkat. Sehingga pemain lulusan akademi mereka sendiri kerapkali mereka kesampingkan.

Kapitalisasi menempatkan pemain sebagai salah satu aset investasinya. Sehingga, selain mendulang prestasi, pemain juga menjadi bagian dari bisnis itu sendiri--untuk mendatangkan keuntungan.

Ajax dan Southampton adalah klub yang memiliki akademi terbaik di Eropa. Pengembangan akademi mereka terkesan bukan untuk membangun kejayaan klub, melainkan hanya untuk dijual. Pemain-pemain jebolan akademinya dihargai mahal oleh klub-klub kaya Eropa. Hal itu semakin menegaskan posisi pemain sebagai salah satu lini bisnis klub.

Kualitas dan popularitas para pemain juga memiliki pengaruh yang cukup masif terhadap naiknya harga di bursa transfer. Label harga lazimnya akan berbanding lurus dengan kualitas dan popularitasnya. Meski dalam beberapa kasus, harga tak selalu berkaitan dengan kualitas seorang pemain. Mungkin saja pemain dihargai lebih murah dengan kualitas yang sama atau bahkan lebih tinggi karena adanya tawar menawar.

Bagi pemain yang memiliki popularitas tinggi akan memudahkan klub untuk meraih keuntungan dari marchandise. Sehingga label mahal pemain bintang sebanding dengan hasil penjualan marchandise-nya.

Seorang pemain juga akan dihargai tinggi jika menjadi target banyak klub. Sesuai hukum ekonomi, ketika permintaan terhadap barang melesat maka harga barang tersebut juga akan meningkat. Begitu halnya dengan pesepakbola yang akan semakin mahal jika banyak klub yang meminatinya.

Stigma pemain berlabel mahal juga melekat pada pemain didikan klub Inggris. Hal ini disebabkan oleh regulasi dari The FA yang mewajibkan setiap klub peserta liga mendaftarkan 8 pemain homegrown yang mulai diterapkan pada musim 2014/15.

Pemain homegrown ialah pemain binaan akademi klub bersangkutan. Pemain itu tidak harus berasal dari Inggris, namun setidaknya meraka sudah tiga tahun membela klub asal Negeri Ratu Elizabeth itu sebelum berusia 21 tahun.

Mau tidak mau setiap klub yang memiliki kekurangan kuota tersebut akan berburu pemain homegrown berapa pun harganya. Inilah yang menjadi salah satu alasan para pemain Inggris lebih mahal daripada non-Inggris.

Pendapatan terbesar klub di liga top Eropa | statista.com
Pendapatan terbesar klub di liga top Eropa | statista.com
Selain itu, alasan mahalnya para pemain Inggris juga bisa dicerminkan melalui revenue yang mereka dapatkan dari hak siar, sponsor, marchandise dan lain sebagainya yang setiap tahun hampir selalu naik.

Premier League sukses menduduki klasemen teratas di antara 5 liga top Eropa dalam hal revenue. Tidak heran jika klub-klub Inggris sangat boros di bursa transfer karena pendapatan mereka dari sejumlah unit bisnis juga sangat tinggi dibandingkan dengan liga-liga lain di dunia.

Semakin banyak uang dan pihak yang dilibatkan dalam sepak bola, seperti hak siar, tiket, stadion, sponsor, marchandise, staff ofisial klub, dan agen pemain maka semakin tinggi pula tren harga pemain sebagai eksesnya.

Kenaikan harga pemain di bursa transfer merupakan fenomena yang tak bisa dihindari karena kehadiran kapitalisasi dalam dunia sepak bola modern. Maka jangan heran jika ada sebuah klub yang rela menebus Messi dengan harga 300 atau bahkan 700 juta euro sekalipun, meski terkesan hampir mustahil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun