Mohon tunggu...
Tony Mardianto
Tony Mardianto Mohon Tunggu... -

Saya hanya seorang rakyat pinggiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akhir Dinasti Soekarno

19 April 2009   06:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:12 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berbagai kegagalan yang dialami Megawati dalam kancah politik nasional memberi gambaran baru bahwasanya bangsa ini semakin cerdas dalam memilih figur seorang pemimpin.

Pada dasarnya Megawati tidak memiliki kemampuan sebagai seorang politikus apalagi sebagai seorang negarawan. Keberadaannya dipanggung politik sampai saat ini harus diakui sebagai rahmat karena dia terlahir sebagai puteri Soekarno. Tanpa adanya jalinan ketutrunan ini maka Megawati bukan siapa-siapa. Dia tak lebih dari seorang wanita biasa yang segala tindak-tanduknya dikendalikan oleh sosok suami.

Satu hal yang menjadi pertanyaan besar adalah:” Faktor apa saja yang menyebabkan figur Megawati semakin menurun atau bahkan dapat dikatakan tidak disukai oleh sebagian elemen bangsa ini.”

Menjawab pertanyaan ini kita akan dihadapkan pada beberapa jawaban diantaranya:

1.Kharisma atau nama besar Soekarno sudah mulai pudar.

2.Kecerobohan Megawati dalam menyoroti jalannya Pemerintahan.

3.Figur suami yang mendominasi setiap kebijakan Megawati.

Kharisma Bung Karno yang sudah pudar.

Kata Soekarno Puteri dibelakang nama Megawati laksana sebuah ajimat bagi perjalanan Megawati di pentas politik Nasional. Tanpa buntut Soekarno Puteri nama Megawati tidak memiliki arti apapun di pentas perpolitikan Indonesia. Hal ini juga sangat disadari oleh Megawati maupun PDI-P sebagai Partai yang dipimpinnya. Hal ini sangat nampak dimana setiap gambar Megawati selalu disandingkan dengan sang Proklamator. Hal ini juga terjadi pada sebagian Caleg yang hidup dibawah payung PDI-P. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Megawati dan PDI-Pnya hidup dan berkembang dibawah ketiak sang orator ulung yakni Bung Karno.

Merosotnya hasil perolehan suara sementara PDI-P pada hasil Pemilu Legislatif 9 April 2009 seolah memberikan gambaran bagi kita semua bahwa kharisma Bung Karno disebagian elemen bangsa ini mulai memudar, sehingga tak mampu lagi menyanggah Megawati dan PDI-P nya dalam Pemilu Legislatif, bahkan tidak menutup kemungkinan hal ini juga akan terjadi pada Pilpres 2009 mendatang.

Kecorobohan Megawati dalam menyoroti jalannya Pemerintahan.

Beberapa pernyataan Megawati dalam menyoroti jalannya Pemerintahan dengan berbagai ungkapan yang kekanak-kanakan mulai dari istilah yoyo, gasing, poco-poco dan lain sebagainya, yang semula berharap akan mendapat respon positif dari masyarakat, justru membuat muak beberapa kalangan. Megawati seolah akan tampil sebagai sosok yang mampu mengatasi berbagai masalah yang ada di masyarakat apabila mendapat kepercayaan untuk menjadi Presiden RI. Dia lupa bahwasanya jabatan tersebut pernah dipegangnya, dan masih segar dalam ingatan masyarakat betapa amburadulnya kondisi Indonesia di bawah kepemimpinannya. Langkah pamungkas yang cukup signifikan dalam kehancurannya di panggung politik adalah “Penolakan” atas kebijakan dana BLT bagi kaum miskin, walau pada akhirnya laksana orang yang menjilat ludah yang terjatuh Megawati dan PDI-P nya berbalik mendukung BLT. Tapi semua sudah terlambat. Hati rakyat kecil sudah terluka. Maka tak heran bila dimata rakyat kecil Megawati dan PDI-P nya dicap sebagai juru fitnah serta orang atau Partai Politik yang tidak konsisten. Lengkap sudah langkah Megawati menuju kehancurannya.

Figur suami yang mendominasi setiap kebijakan Megawati.

Taufik Kiemas selaku suami Megawati yang merangkap Ketua Pembina PDI-P tak jarang ikut bagian dalam memberikan komentar yang justru menambah keterpurukan nama Megawati dan PDI-P di mata masyarakat. Peristiwa penyebutan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Jenderal yang kekanak-kanakan pada tahun 2004 membuat tersinggung beberapa Jenderal. Pernyataan tersebut dianggap sebagai pelecehan “Bintang Empat” yang merupakan kehormatan dikalangan TNI.

Melihat kenyataan atas berbagai kegagalan Megawati di kancah perpolitikan Nasional memberikan gambaran yang jelas akan semakin obyektifnya daya fikir serta nalar bangsa ini. Seorang tokoh poilitik tidak lagi dipandang dari sudut dinasti tetapi lebih terfokus pada sosok pribadi sang calon pemimpin itu sendiri. Nama Bung Karno tak lagi dapat dijadikan komoditi politik.

Pijar lampu Soekarno sudah mulai meredup, apakah ini juga dapat diartikan bahwa Dinasti Soekarno akan segera runtuh di pentas politik Indonesia. Pilpres 2009 akan menjadi sebuah jawaban.

 

Salam: Tony Mardianto

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun