Di suatu jumat, saat menunaikan sholat jumat, secara kebetulan sang khotib berkhotbah tentang syirik dan logika mistika, ia juga menyinggung tentang apa yang dilakukan Fery Irwandi dengan menantang secara terbuka para praktisi santet. Saya yang hampir terlelap dalam sesi itu, seketika tertarik perhatiannya dan mendengarkan khotbah hingga usai.
Lepas khotbah, saya dan kawan saya (berinisial H) mendiskusikan hal ini. Ia (si H) adalah orang yang tertarik pada bahasan tentang hal mistis dan sedikit menjelaskan pada saya tentang bagaimana menyederhanakan praktek perdukunan dan hal gaib yang lekat dalam masyarakat.
Dari yang saya simpulkan dari percakapan itu adalah pada dasarnya pesugihan, santet, pelet dan sebagainya adalah hubungan bisnis sederhana antara manusia dan jin. Karena antar alam itu tidak punya mata uang yang tetap, maka pihak berkepentingan (manusia) menggunakan nyawa sebagai alat tukar.
Teori Ekonomi Dasar dalam Hubungan Transaksional Antara Manusia dan Jin
Dalam teori ekonomi dasar ada sebuah konsep yang dikenal sebagai "permintaan dan penawaran (demand & supply)." Dimana permintaan merujuk pada keinginan atau kebutuhan masyarakat akan sesuatu dan dipenuhi atau ditawarkan solusinya oleh pihak penyedia jasa atau produser. Saat kedua hal ini saling terkait, maka akan tercipta "pasar."
Jika kita relevansikan dengan dalam hubungan antara manusia dan jin ini, manusia memiliki permintaan atau kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi secara biasa, seperti kekayaan instan, kekuasaan dan balas dendam, dalam hal ini manusia bertindak sebagai "demand."
Permintaan yang tak bisa dipenuhi dengan biasa ini membuat mereka meminta bantuan jin yang dirasa mampu memenuhi permintaan itu lewat manipulasi realitasnya. Produk-produk jasa seperti pesugihan, penglaris, santet, pelet dan lain sebagainya adalah hal yang ditawarkan jin untuk memenuhi kebutuhan manusia tadi.
Hubungan antara manusia dan jin ini menciptakan pasar namun dalam skala gaib sebab melibatkan dua alam berbeda. Dalam pasar gaib yang melibatkan manusia dan jin, dukun muncul sebagai pihak penengah dalam transaksi, bisa berupa agen atau distributor yang menerima kompensasi berupa uang, barang berharga, atau persembahan tambahan dari manusia yang memerlukan jasanya.
Sebagai perwakilan pihak manusia dalam melakukan negosiasi kepada Jin, dukun dinilai paham akan "aturan main" dunia ghaib, sehingga merekalah yang mengatur protokol, jenis persembahan, hingga cara "membayar" jin. Lalu dengan apa manusia "membayar" jin?
Untuk memenuhi standar transaksi, alat tukar diperlukan. Kita mengenal uang sebagai alat tukar yang familiar di dunia manusia saat melakukan kegiatan transaksi, namun untuk kegiatan yang melibatkan dua alam berbeda, uang tentu tidak relevan.
Hal inilah yang memunculkan beberapa alternatif untuk ditukar, seperti energi, jiwa, pengorbanan ritual, pengorbanan hewan atau persembahan simbolik atau bahkan kontrak waktu hidup seseorang. Semakin tinggi "nilai" permintaan seseorang (misalnya ingin menjadi sangat kaya atau berkuasa), semakin besar pula "harga" yang harus dibayar. Persis seperti sistem barter di masyarakat prasejarah sebelum alat tukar berupa uang diperkenalkan.