Disiplin yang Disalahpahami: Ketika Pejabat dan Orang Tua Tak Searah dengan Guru
Ada masa ketika guru dihormati bukan karena jabatan, tetapi karena ketulusan dalam mendidik. Mereka bukan sekadar pengajar, melainkan pembentuk karakter. Namun kini, di era ketika segalanya bisa diviralkan dalam hitungan detik, disiplin sering kali disalahartikan sebagai kekerasan, dan ketegasan dianggap tidak manusiawi.
Ironinya, ketika seorang guru menegakkan aturan atau menegur murid demi membentuk tanggung jawab, justru bukan apresiasi yang datang melainkan teguran dari pejabat dan amarah dari orang tua. Pejabat merasa paling bijak, paling tahu bagaimana "mendidik dengan cinta", padahal mereka tidak setiap hari berdiri di depan kelas, menghadapi ratusan karakter anak yang berbeda. Sementara orang tua, tanpa menelusuri duduk persoalan, sering lebih cepat tersulut emosi dibanding memahami konteks pendidikan yang sebenarnya.
Padahal, disiplin bukanlah bentuk hukuman, melainkan jalan pembentukan watak. Anak yang dididik tanpa batas justru tumbuh tanpa arah. Guru bukan musuh, tapi mitra orang tua dan pemerintah dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan. Ketika pejabat terlalu cepat menilai, dan orang tua terlalu mudah menyalahkan, yang terluka bukan hanya hati guru tapi juga masa depan anak-anak yang kehilangan figur pendidik yang berani menegakkan nilai kebenaran.
Kita seakan lupa bahwa mendidik itu tak selalu lembut, tapi juga tegas. Tak selalu menyenangkan, tapi juga menantang. Pejabat yang arif seharusnya hadir bukan untuk mencari simpati publik, melainkan untuk menegakkan keadilan bagi pendidik yang berjuang dengan hati. Orang tua pun mestinya belajar untuk tidak menutup mata pada realitas bahwa pendidikan sejati butuh keseimbangan antara kasih dan ketegasan.
Pramoedya Ananta Toer pernah menulis, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dari masyarakat." Hari ini mungkin bisa kita ganti sedikit: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi bila tak memahami makna disiplin, ia akan kehilangan arah dalam mendidik."
Refleksi Penulis
Menjadi guru di masa kini bukan hanya tentang mengajar, tapi juga tentang bertahan di tengah arus opini dan persepsi yang mudah terbolak-balik. Guru kerap berada di antara dua tekanan: keinginan pejabat untuk terlihat bijak dan keinginan orang tua untuk anaknya selalu "benar." Di tengah pusaran itu, guru sering kehilangan ruang untuk menegakkan nilai dengan nurani.
Namun di sanalah letak keagungan profesi ini. Guru yang sejati tidak mendidik untuk disukai, tetapi untuk membentuk. Tidak menegur untuk mempermalukan, tetapi untuk menyadarkan. Di tangan guru yang ikhlas, disiplin bukan cambuk, melainkan cermin agar anak melihat dirinya dan tumbuh menjadi manusia yang lebih baik.
Mungkin sudah saatnya pejabat, orang tua, dan masyarakat berhenti menilai dari permukaan. Mendidik anak adalah kerja bersama --- bukan lomba citra, bukan ajang simpati publik. Sebab dalam setiap teguran guru, ada kasih yang tak terucap, dan dalam setiap ketegasan, ada doa yang dipanjatkan diam-diam.
> "Hanya hati yang jernih yang mampu melihat bahwa di balik teguran seorang guru, tersimpan cinta yang ingin menuntun."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI