Stasiun Palmerah 6.18
Di rel-rel besi yang dingin,
kereta datang membawa wajah letih,
orang-orang berdesakan, berlari,
mengejar waktu yang tak pernah ramah.
Di sudut dinding stasiun,
poster janji masih terpaku rapi---
tentang pembangunan, tentang rakyat,
tentang sejahtera yang hanya hidup di spanduk.
Ah, para penguasa duduk nyaman di gerbong eksekutif,
dengan kursi empuk dan kopi impor,
sementara kami berdiri, terhimpit napas,
membayar tiket dengan keringat yang tak pernah cukup.
Stasiun ini saksi bisu,
betapa suara rakyat cuma gema di pengeras,
diperdagangkan tiap musim pemilu,
lalu dibuang seperti karcis usang.
Kekuasaan itu rakus,
menelan relung harapan hingga habis,
sementara kami---penumpang setia kehidupan---
hanya menunggu kereta yang tak pasti tiba.
Jam 6.18, Palmerah,
di sini kesenjangan tak perlu diumumkan,
ia terlihat di kursi kosong yang tak bisa kami duduki,
dan di dompet tipis yang tak sanggup beli mimpi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI