"Oplosan" Bukan Sekadar Minuman
Di berbagai pemberitaan, kita sering mendengar kasus tragis: puluhan orang tewas akibat menenggak minuman keras oplosan. Namun persoalan "oplosan" di Indonesia tidak hanya soal alkohol. Istilah ini seolah menjadi simbol dari budaya yang kian permisif terhadap manipulasi dan pencampuran nilai-nilai yang seharusnya dijaga keasliannya. Dari bensin oplosan, makanan oplosan, pupuk oplosan, hingga ijazah dan gelar palsu. Semuanya menunjukkan gejala serupa: jalan pintas demi untung sesaat.
Ketika Keaslian Menjadi Barang Mewah
Kejujuran dan keaslian, dua hal yang semestinya menjadi nilai luhur bangsa, kini makin langka ditemukan. Kita hidup dalam masyarakat yang perlahan terbiasa dengan sesuatu yang "dicampur-campur". Bahkan dalam sektor pelayanan publik, transparansi kerap "dioplos" dengan kepentingan pribadi. Hasilnya? Layanan yang amburadul, keputusan yang tidak adil, dan publik yang terus dirugikan.
Ekonomi Terdesak, Moral Dikorbankan
Banyak yang beralasan, kondisi ekonomi yang sulit mendorong sebagian masyarakat untuk "mengoplos" demi bertahan hidup. Penjual bensin eceran mencampur premium dengan air atau minyak tanah. Pedagang makanan menambahkan zat kimia berbahaya demi harga murah. Di balik tindakan ini memang ada tekanan ekonomi, tapi saat moral ikut dikompromikan, dampaknya bisa jauh lebih merusak.
Ketika Politik Pun Dioplos
Fenomena "oplosan" juga hadir dalam panggung politik. Janji kampanye kerap kali dioplos dengan retorika manis tanpa fondasi yang kuat. Kepentingan rakyat kerap digeser oleh kepentingan partai atau pribadi. Akibatnya, kebijakan publik pun kehilangan arah dan legitimasi.
Krisis Kepercayaan
Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami krisis yang lebih dalam dari sekadar ekonomi: krisis kepercayaan. Ketika masyarakat sudah tak percaya lagi pada keaslian produk, keaslian niat pejabat, bahkan keaslian nilai yang diajarkan di sekolah, maka kebingungan dan sinisme akan menjadi arus utama.