Mohon tunggu...
Ki Ali
Ki Ali Mohon Tunggu... wiraswasta -

percayalah, jangan terlalu percaya. apalagi kepada saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Versi Bahasa Indonesia dari Cerkak Banyumasan] Siti

29 April 2012   15:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:58 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siti anak tunggal Pak Sadam, pengrajin gula jawa yang menyadap sendiri badhegnya. Seharinya Pak Sadam menyadap badheg tak kurang dari 30 pohon kelapa, pagi dan sore. Yang memasak menjadi gula adalah istrinya. Gula jawa buatan Pak Sadam itu sudah terkenal asli dan murni, tidak menggunakan obat gula dan tidak pula dicampuri bahan-bahan lain yang tujuannya untuk menambah bobot dan banyaknya gula. Jika pengrajin gula jawa lainnya menggunakan obat gula untuk laru badheg, maka Pak Sadam masih setia pada ajaran bapak dan kakeknya yaitu menggunakan kulit buah manggis yang dikeringkan dan dicampur apu. Pernah aku bertanya kenapa tidak seperti pengrajin gula lainnya yang memasukkan boled, munthul, jrangking dan entah apalagi lainnya yang bukan? Pak Sadam menjawab gamblang dan sederhana sekali. “Tidak mau. Memasak gula itu pencaharian, jalan kami makan. Kalau pekerjaannya disiasati dengan cara licik, nanti hasilnya tidak bakal jadi daging, cuma jadi tahi!”

Setiap harinya Siti membantu mboknya memasak gula dan pekerjaan rumahan lainnya termasuk menyapu halaman. Ya karena sering melihat Siti sedang menyapu halaman itulah aku jadi tahu jika ternyata ada yang bening di kampung atas sana. Aku jadi rajin dan pasti segera berangkat jika disuruh mbokku membeli pisang di kampung atas. Tak diperintahpun berangkat juga, pura-puranya ya mau menengok pisang milik siapa begitu. Maksudku jelas, hanya ingin melihat Siti sedang menyapu halaman. Siapa tahu bisa kenalan. Siapa tahu lalu diajak mampir. Siapa tahu dia jodohku. Siapa tahu, kan?

Benar saja. Suatu sore aku lewat sambil memanggul pisang ambon gading setundun besar. Jalan setapak yang menurun di depan rumah Siti itu sebenarnya tidaklah cukup untuk membuat orang merasakan penat dan lelah. Tapi demi melihat Siti sedang menyirami kembang dan tak menyapu halaman seperti biasanya, aku memberanikan diri berhenti dan menyapanya.

“Mbak, permisi ya? Kalau boleh saya minta tolong airnya sedikit saja. Tenggorokan saya rasanya haus sekali.” Sedikit pura-pura bolehlah dan rasanya ini waktu yang pas buat berkenalan dengannya.

Siti memandang sekejap dan melirik ke arah pisang yang sudah kuletakkan di tanah. Mungkin heran, masa cuma memanggul pisang setundun kok jadi kehausan. Tapi akhirnya Siti mengangguk dan bergegas masuk rumah. Sekejap Siti sudah datang dan menyodorkan segelas teh.

“Ini, Mas.” Sedikit sekali omongnya, sambil menunduk pula. Mungkin memang pemalu dia.

Segera kuminum tehnya. Wah, pahit juga ternyata. “Terima kasih, Mbak. Segar sekali ini. Tidak menyapu halaman, Mbak?”

“Sudah tadi.” Jawabnya sedikit. Masih menunduk, diterimanya gelas yang kusodorkan.

“Kembangnya bagus-bagus, yah. Itu Bougenville kok daunnya gemrining sekali. Ada yang daunnya merah, pink, putih, ungu. Bagus sekali. Mbak-nya yang menanam sendiri?” Aku mulai basa-basi. Kalau dianya tidak suka ya paling tak dijawab.

“Ya, Mas.” Masih saja sedikit jawabnya. Menunduknya pun tetap.

“Jangan menunduk, Mbak. Jangan takut. O, iya, Mbak. Kenalkan, ya. Saya Dali, sering beli pisang di sekitar sini, makanya sering lewat sini.” Aku mengulurkan tangan mengajak salaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun