Mohon tunggu...
Khutbahrul Wahid
Khutbahrul Wahid Mohon Tunggu... Konsultan - Hukum, Politik, Pendidikan dan Filsafat

Pemerhati dan Penulis Hukum | Menyumbang Pemikiran di Bidang Ilmu Hukum, Politik, Pendidikan dan Filsafat | Pekanbaru, Riau.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Paradoks Kerugian Negara dan Pengembalian Aset dalam Perkara Korupsi

26 Maret 2020   19:27 Diperbarui: 27 Maret 2020   14:41 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis tidak akan berbicara langsung tentang korupsi dilembaga peradilan, akan tetapi penulis melihat apa yang diinginkan oleh masyarakat dalam rangka pemberantasan "Korupsi" yang dimana kuliah negara harus dikembalikan. 

Penulis akan membahas mengenai dua kalimat saja yaitu "Kerugian Negara" dan "Pengembalian Aset" Kalimat yang pertama penulis akan bahas yaitu:

"KERUGIAN NEGARA"

Hampir semua orang berfikir bahwa fungsi utama pemberantasan korupsi adalah "mengembalikan kerugian negara" betul atau tidak? itu pertanyaannya.

Kalau kita melihat United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Atau Konvensi PBB Antikorupsi, sudah jelas-jelas bahwa "Kerugian Negara" BUKAN unsur Tindak Pidana Korupsi, pemikiran ini memang tidak lazim dan banyak yang menduga "wah ini pasti salah nih, kan tujuan tindak pidana korupsi adalah tugas peradilan ataupun penegak hukum mengembalikan kerugian negara". Kenapa penulis berfikir bahwa tidak ada kaitan korupsi dengan kerugian negara?

Jadi begini, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia itu tercermin dari zamannya darurat militer di absorb dengan 371  kemudian diikuti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang sebetulnya mengkualifisir delik-delik yang ada di dalam KUHP sehingga inti dari Tindak Pidana Korupsi Adalah "Ambtelijk ten" atau Kejahatan dalam Jabatan, kejahatan dalam jabatan pasti ada kaitannya dengan "Keuangan Negara". 

Hal ini berbeda jauh dengan Konvensi PBB antikorupsi, karena sebetulnya korupsi tidak berkorelasi dengan delik dalam jabatan. Hanya bangsa kita saja yang menganggap bahwa korupsi itu berkaitan dengan Pegawai Negeri padahal nyatanya tidak selalu begitu, penulis ambil contoh dalam UNCAC/Konvensi PBB Antikorupsi ada BAB yang belum pernah sama sekali kita sentuh! Apa itu? Corruption in Private Sector! jadi swasta dengan swasta saja apabila menyuap itu termasuk kedalam korupsi, namun ini tidak terbayang dibenak kita terlebih kalau kita lihat dari linear saja, 

Apakah logika pemberantasan tindak pidana korupsi indonesia sudah sejalan dengan UNCAC/Konvensi PBB antikorupsi? 

Kita lihat tahunnya saja, UNCAC/Konvensi PBB Antikorupsi itu di rumuskan pertama kali pada tahun 2003 sementara undang-undang kita tentang pemberantasan tindak pidana korupsi itu lahir pada tahun 1999 dan 2001. Banyak norma-norma dalam undang-undang tersebut tidak relevan dengan UNCAC.

Sumber Gambar: Indonesia Corruption Watch
Sumber Gambar: Indonesia Corruption Watch

Cek kembali lagi kepada Kerugian Negara, jadi apakah "Kerugian Negara" itu unsur Tindak Pidana Korupsi atau tidak? Tidak! Kenapa? UNCAC itu mencerminkan bahwa tindak pidana korupsi adalah "Kejahatan Transnasional" yang dimana kejahatan tersebut merupakan lintas negara, karena kejahatan tersebut lintas negara maka prinsipnya di semua belahan dunia atau hampir semua belahan dunia Tindak Pidana Korupsi dianggap suatu kejahatan. Kita lihat masalah kerugian negara dengan simple penulis analogikan dengan pertanyaan "Kalau Kerugian Keuangan Negara itu masalah Domestik atau Transnasional?" 

Penulis beri suatu contoh apabila suatu saat kita ada kasus melacak aset ke Hongkong, pihak Hongkong sebenarnya bisa saja berdalih/beralasan dengan berkata "Yang rugi itu Indonesia atau Hongkong?" jelas Indonesia karena kerugian negara dialami oleh Indonesia bukan hongkong. 

Oke, jadi "Kerugian Negara" itu masalah Transnasional atau Domestik? Domestik! Kalau ini masalah Domestik artinya tidak ada kewajiban negara yang dimohonkan untuk pelacakan aset tersebut untuk melayani karena "Kerugian Negara" bersifat Domestik (permasalahan dalam negeri). Pemahaman ini memang tidak lazim tapi perlu penulis luruskan, namun apakah penegak hukum bisa membantah dalam melaksanakan tugas? tidak! karena Undang-Undangnya masih hidup, undang-undang yang hidup menyebutkan bahwa pemberantasan korupsi untuk mengembalikan "Kerugian Negara".

Pembahasan kedua yaitu masalah:

"PENGEMBALIAN ASET"

Kalau pengembalian aset kerugian negara, mau tidak mau kita harus berfikir "bagaimana cara melacak dan mengembalikannya". Namun unsur kerugian negara ini bagaimana? yang penulis katakan tadi ini adalah persoalan "Domestik/Nasional" bukan Transnasional yang dimana negara yang diminta permohonan bantuan tidak ikut campur dalam kepentingan negara kita! Memang dalam praktek tetap ada melayani, Namun ini dapat dijadikan dalih/alasan mereka untuk menolak permohonan bantuan timbal balik untuk pelacakan aset ataupun pengembalian aset. 

Jadi disini penulis mengajak kembali berfikir, gambaran besarnya adalah "Apa iya kita masih berkeinginan menjaga kesucian Undang-Undang No 31 Tahun 1999?" yang notabene secara linear yang paling simplepun sudah dipastikan tidak sejalan dengan UNCAC yang dibuat tahun 2003, catatan kita adalah waktu kita meratifikasinya tahun 2006 tidak satupun pasal dalam UNCAC yang di reserve/serap, tandanya kita tidak mau menolak ratifikasi akan tetapi membatasi. 

Kontradiksinya adalah secara umum kita menganggap tidak perlu merubah Undang-Undang 31 Tahun 1999 tersebut padahal kalau Ratifikasi tanpa di reserve/serap sepenuhnya haruslah norma-norma yang ada di Indonesia selaras dengan UNCAC/Konvensi PBB Antikorupsi! Jadi penulis sebenarnya menghimbau sekaligus bertanya "Mau sampai Kapan Kita Seperti Ini?"

Pemahaman berikutnya menenai "Pengembalian Aset", secara kata-kata seakan mudah dengan yang namanya pengembalian aset, dan memang undang-undang tindak pidana korupsi kita menghendaki adanya "Pengembalian Aset" Selintas kalimat ini betul "Ada Korupsi, Asetnya Kita Kembalikan" tapi tunggu dulu. 

Tindak Pidana Korupsi adalah "Kejahatan Finansial" karena kalau Finansial sudah pasti pelaku ingin mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. 

Mengenai Pengembalian Aset penulis membayangkan kalau suatu saat ada peristiwa (sebagai contoh) seseorang mengambil uang bisnis pengadaan barang oleh negara senilai 10 Milyar, maka kerugian keuangan negaranya 10 Milyar secara matematika gampang "Kerugian Negara 10 Milyar Maka yang dikembalikan adalah 10 Milyar" tapi tunggu dulu! Terungkapnya kasus tidak mungkin 1 bulan langsung ketahuan bisa saja 2 bulan, 5 bulan bahkah 1 tahun, 5 tahun hingga 10 tahunan, (selagi belum daluwarsa masih bisa disidik). 

Kalau seseorang itu korupsi 10 Milyar tadi jangankan pengusaha, orang biasapun berfikir 10M itu akan dikelola oleh dia, jangan bisnis yang "high Risk" seperti pasar modal, Saya beli tanah saja misalnya di Pekanbaru 10M namun 5 tahun kemudian bisa jadi keuntungan saya 20M, 50M atau sampai 100M, jadi sepertinya nikmat sekali kalau pakai metode "Pengembalian Aset Kerugian Negara"Negaranya rugi berapa? 10M! Uang negara dicuri 10M kemudian di invest oleh pelaku 10M tersebut dengan membeli tanah yang bisa jadi 5 tahun kemudian 100M, namun pelaku kembalikan kerugian Negara 10M tadi kepada negara dan Pelaku masih tetap untung 90M! kalau pakai metode "Pengembalian Aset" tadi.

Jadi pemahaman ini mesti difikirkan, kenapa ini kejadian? Karena mazhab penyidikan kita sebagaimana tercantum dalam KUHAP itu masih menganut keadilan retributif, tidak berkaitan soal pengembalian aset ataupun kalimat terakhir penulis sarankan "Pemulihan Aset". 

Coba dilihat definisi penyidikan yaitu "Rangkaian penyidik sebagaimana diatur dalam undang-undang ini(KUHAP) untuk menemukan alat bukti yang dengan alat bukti tersebut membuat terangnya suatu Tindak Pidana guna menemukan "Tersangka". Artinya yang lebih penting apa didalam KUHAP? "Tersangkanya" inilah yang dinamakan keadilan retributif, padahal kejahatan korupsi adalah kejahatan finansial, selain harus adanya individu yang harus bertanggung jawab akan tetapi aset tersebut juga bukan sekedar dikembalikan saja namun pada dasarnya haruslah di "Pulihkan" maka penulis tadi menyebutkan kalimat yang tepat adalah "PEMULIHAN ASET". Karena apa? 

Karena nilai 10M tahun ini dengan 5 atau 10 tahun kedepan tentu akan berbeda pada saat kasus itu terungkap. Tapi jika secara matematika tadi pendekatannya retributif kalau rugi negara 10M maka yang cukup dikembalikan adalah senilai 10M tadi, jadi penulis mengajak kita semua yang membaca ini kita harus berfikir kembali Apakah kalimatnya sudah benar "Pengembalian Aset"? Penulis menawarkan kata berikutnya yaitu "Pemulihan Aset", kenapa? Karena pulih yang artinya kembali kedalam suatu titik keseimbangan, jadi kalau dulu 10M bisa beli tanah 1 hektar di pekanbaru maka seharusnya kalau dipulihkan "uang yang dikembalikan" itu tetap bisa beli tanah 1 hektar lagi dipekanbaru walaupun tahunnya berubah, bukan sekedar dikembalikan saja.

Namun saya belum memahami apakah politik hukum pidana kita sudah menghendaki pendekatan yang restorative tidak sekedar retributif, karena masih banyak yang penulis lihat orang yang menghendaki "Koruptor di Hukum Mati" karena mereka berfikir semakin keras maka penegakannya semakin baik. Tapi seperti yang saya sampaikan tadi ini "Kejahatan Finansial" kalau dihukum mati yang bersangkutan, sudah dapat dipastikan dibeberapa negara seperti Uni Eropa, Australia atau negara lain yang sudah menghapus "Hukuman Mati" maka permohonan pelacakan aset dan pengembalian aset hampir dapat dipastikan "TIDAK AKAN DILAYANI!". 

Jadi saya kembali bertanya-tanya Apa iya untuk kejahatan finansial masih diperlukannya "Ancaman Hukuman Mati"? Ada yang bilang "Oh negara lain bisa kok" dimana? "China", jangan lupa China adalah negara Komunis dimana kepemilikan atas aset berbeda dengan Indonesia. Suatu saat disana dinyatakan koruptor maka asetnya langsung dinyatakan punya negara.

Jadi sebagai penutup penulis tidak menyimpulkan akan tetapi mengajukan pertanyaan "Mau sampai kapan seperti ini? Mau sampai kapan kita berfikir undang-undang saat ini itu semacam kitab suci yang sudah the best dan tidak perlu adanya perubahan?" padahal disisi lain dengan meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi kita diwajibkan TAAT. sebagai penutup mengajak semuanya untuk memikirkan kembali apa iya harus mempertahankan apa adanya undang-undang  31 tahun 1999 beserta amandemennya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun