Mohon tunggu...
Khutbahrul Wahid
Khutbahrul Wahid Mohon Tunggu... Konsultan - Hukum, Politik, Pendidikan dan Filsafat

Pemerhati dan Penulis Hukum | Menyumbang Pemikiran di Bidang Ilmu Hukum, Politik, Pendidikan dan Filsafat | Pekanbaru, Riau.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Paradoks Kerugian Negara dan Pengembalian Aset dalam Perkara Korupsi

26 Maret 2020   19:27 Diperbarui: 27 Maret 2020   14:41 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi pemahaman ini mesti difikirkan, kenapa ini kejadian? Karena mazhab penyidikan kita sebagaimana tercantum dalam KUHAP itu masih menganut keadilan retributif, tidak berkaitan soal pengembalian aset ataupun kalimat terakhir penulis sarankan "Pemulihan Aset". 

Coba dilihat definisi penyidikan yaitu "Rangkaian penyidik sebagaimana diatur dalam undang-undang ini(KUHAP) untuk menemukan alat bukti yang dengan alat bukti tersebut membuat terangnya suatu Tindak Pidana guna menemukan "Tersangka". Artinya yang lebih penting apa didalam KUHAP? "Tersangkanya" inilah yang dinamakan keadilan retributif, padahal kejahatan korupsi adalah kejahatan finansial, selain harus adanya individu yang harus bertanggung jawab akan tetapi aset tersebut juga bukan sekedar dikembalikan saja namun pada dasarnya haruslah di "Pulihkan" maka penulis tadi menyebutkan kalimat yang tepat adalah "PEMULIHAN ASET". Karena apa? 

Karena nilai 10M tahun ini dengan 5 atau 10 tahun kedepan tentu akan berbeda pada saat kasus itu terungkap. Tapi jika secara matematika tadi pendekatannya retributif kalau rugi negara 10M maka yang cukup dikembalikan adalah senilai 10M tadi, jadi penulis mengajak kita semua yang membaca ini kita harus berfikir kembali Apakah kalimatnya sudah benar "Pengembalian Aset"? Penulis menawarkan kata berikutnya yaitu "Pemulihan Aset", kenapa? Karena pulih yang artinya kembali kedalam suatu titik keseimbangan, jadi kalau dulu 10M bisa beli tanah 1 hektar di pekanbaru maka seharusnya kalau dipulihkan "uang yang dikembalikan" itu tetap bisa beli tanah 1 hektar lagi dipekanbaru walaupun tahunnya berubah, bukan sekedar dikembalikan saja.

Namun saya belum memahami apakah politik hukum pidana kita sudah menghendaki pendekatan yang restorative tidak sekedar retributif, karena masih banyak yang penulis lihat orang yang menghendaki "Koruptor di Hukum Mati" karena mereka berfikir semakin keras maka penegakannya semakin baik. Tapi seperti yang saya sampaikan tadi ini "Kejahatan Finansial" kalau dihukum mati yang bersangkutan, sudah dapat dipastikan dibeberapa negara seperti Uni Eropa, Australia atau negara lain yang sudah menghapus "Hukuman Mati" maka permohonan pelacakan aset dan pengembalian aset hampir dapat dipastikan "TIDAK AKAN DILAYANI!". 

Jadi saya kembali bertanya-tanya Apa iya untuk kejahatan finansial masih diperlukannya "Ancaman Hukuman Mati"? Ada yang bilang "Oh negara lain bisa kok" dimana? "China", jangan lupa China adalah negara Komunis dimana kepemilikan atas aset berbeda dengan Indonesia. Suatu saat disana dinyatakan koruptor maka asetnya langsung dinyatakan punya negara.

Jadi sebagai penutup penulis tidak menyimpulkan akan tetapi mengajukan pertanyaan "Mau sampai kapan seperti ini? Mau sampai kapan kita berfikir undang-undang saat ini itu semacam kitab suci yang sudah the best dan tidak perlu adanya perubahan?" padahal disisi lain dengan meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi kita diwajibkan TAAT. sebagai penutup mengajak semuanya untuk memikirkan kembali apa iya harus mempertahankan apa adanya undang-undang  31 tahun 1999 beserta amandemennya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun