Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik Kasus dan Solusi Konflik Laten Tenurial

21 September 2020   00:39 Diperbarui: 25 Oktober 2020   15:39 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keberadaan hutan dan kawasannya sekitar 20 tahun terakhir, telah mengalami degradasi cukup signifikan dan sangat mengkhawatirkan berbagai pihak. Hal ini terjadi salah satunya akibat konflik sosial yang didasari konflik lahan (tenurial).

Pada dekade tahun 1990-an saja, tidak kurang dari 19,807 konflik terjadi pada lahan-lahan HPH, HPHTI, Perhutani dan Taman Nasional dalam bentuk penebangan liar, tumpang tindih status lahan, reclaiming, perladangan liar dan pembakaran hutan (Mushi, 1999). Seakan masalah ini menjadi “suatu konflik yang dilatenkan”.

Istilah “dilatenkan” tafsirnya bisa berarti potensi konflik tenurial seakan dengan sengaja disembunyikan dengan rapi, dipendam dalam-dalam, disamarkan agar tidak terlihat nyata, yang selanjutnya dimunculkan Kembali pada saat dan waktu tertentu.

Penggunaan istilah “tenure” sering mencuat tatkala terjadi konflik yang berkepanjangan antar pihak yang saling mempertahankan hak penguasaan terhadap lahan atau sumber daya alam.  Land tenure adalah istilah legal untuk hak pemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar fakta pemangkuan lahan.

Dengan demikian, pengertian Land tenure berarti sesuatu yang dipegang termasuk hak dan kewajiban dari pemangku lahan. Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi secara hukum tidak berarti mempunyai hak menguasai.

Pada dasarnya, konflik lahan terjadi akibat secara de jure sumber daya alam (termasuk hutan) diklaim telah dikuasai negara (pasal 33 UUD ’45), tetapi fakta dilapangan justru sebagian besar secara de facto-nya tidak diakui oleh (sebagian) masyarakat.

Konflik lahan juga sering terjadi akibat manajemen kawasan (tata ruang) yang kurang tepat, tidak tegas penanganan masalahnya secara hukum-politik, dan belakangan terjadi sebagai akibat tarik-menarik kewenangan pengaturan sumber daya alam antara pusat dan daerah.

Klaim Atas Lahan

Kecenderungan yang terjadi menunjukkan praktik klaim masyarakat atas lahan dalam kawasan hutan, berlangsung ketika kawasan hutan negara tersebut telah diterbitkan Izin Usaha Pemanfaatan (IUP) kepada subyek hukum penerima SK. Menteri dengan skema pengelolaan tertentu.

Sedangkan upaya masyarakat melakukan klaim atas lahan beragam tujuannya. Selain menjadi sumber kehidupan sebagai mata pencaharian tunggal, tetapi ada juga tujuan dibaliknya, untuk mendapat ganti rugi dari pihak perusahaan.

Praktik klaim lahan hingga penggarapannya oleh masyarakat adat/desa tempatan, atau masyarakat pendatang, dapat dipastikan bersumber atau didasarkan atas (1) hak waris, (2) proses jual beli dari pihak yang tidak berhak atas lahan tersebut, dan (3) inisiatif dan kesanggupan mereka menggarap lahan yang belum ada pihak pengelola sebelumnya.

Modus operandi

Praktik penguasaan lahan akan berlangsung ketika masyarakat mengetahui informasi tentang lokasi dan batas kawasan yang sedang diurus pengusulan hingga penyiapan areal rencana kegiatan yang akan ditetapkan pihak perusahaan.

Kegiatan sebagaimana dimaksud, bisa dalam bentuk penyiapan pembuatan jalan, kewajiban melakukan tata batas luar areal konsesi, maupun lokasi eksplorasi/eksploitasi perusahaan tambang.

Bentuk tindakan masyarakat, bisa sebatas menandai dengan alat bantu tertentu. Atau dengan cara menebang beberapa batang pohon hutan, selanjutnya ditanami beberapa batang pohon komoditi tertentu (Karet, Sawit. Kopi, kayumanis, atau jenis pohon maupun tanaman non hutan lainnya.

Faktor Pemicu Klaim Lahan

Ada beberapa faktor pemicu tujuan klaim lahan yang secara hukum maupun politis, relatif menguntungkan bagi pihak masyarakat melalui berbagai aktifitasnya. Beberapa pemicu dalam konteks ini adalah sebagai berikut :

1. Penerimaan Mengenai Status Hukum Atas Lahan

Masyarakat cenderung tidak menghiraukan status hukum atas lahan yang digarapnya, dan hanya meyakini lahan yang digarap berada dalam wilayah adat mereka. Status hukum atas lahan sebagaimana dimaksud, adalah status hutan negara dengan fungsinya sebagai hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi.

Keyakinan tersebut dilakukan masyarakat setempat secara bersamaan, yang diperkuat dukungan pimpinan formal (kepala desa dan atau perangkat desa), pimpinan informal (kepala suku atau ketua adat), dukungan atas nama organisasi tertentu, ketika berlangsung proses negosisasi ganti rugi dengan pihak perusahaan.

2. Praktik Pembiaran Pihak Pemerintah

Jika proses negosiasi ganti rugi antara masyarakat dengan pihak perusahaan diposisikan sebagai bentuk sengketa lahan dalam areal konsesi yang telah diterbitkan IUP kepada subyek hukum tertentu, setidaknya pihak pemerintah bertanggung jawab untuk memfasilitasi proses penyelesaiannya.

Dalam faktanya, hal itu tidak terjadi sebagaimana mestinya, yaitu memberikan penjelasan dan ketegasan sesuai peraturan hukum yang berlaku, sehingga pihak perusahaan tidak harus menyelesaikan dengan skenario tertentu dan biaya ekstra.

Meskipun ada skema membentuk Kelompok Kerja (POKJA) dengan keanggotaan mewakili unsur pemerintah, swasta, NGO, Tomas/Todat, Organisasi Rakyat (OR) yang bersifat adhoc, selain kecenderungan tidak efektif peran dan fungsinya, juga tidak punya kekuatan hukum yang bersifat mengikat, memaksa dan final.

Bahkan, diduga keberadaan POKJA yang bersifat adhoc tersebut, terbuka peluang dimanfaatkan demi kepentingan dan keuntungan bagi subyek yang diberi amanah menyelesaikan konflik, yang sejatinya sudah jelas duduk perkaranya secara politik-hukum.  

3. Eksistensi Dan Oportunitas Pihak Perusahaan

Dalam hal terjadi sengketa lahan, fakta lapangan menunjukkan bahwa posisi tawar pihak perusahaan sangat lemah. Pihak perusahaan cenderung memilih sikap praktis-oportunis dalam penyelesaian yang dihadapi, dengan harapan seluruh agenda kegiatannya bisa dijalankan hingga mendapat keuntungan dalam usahanya dengan segera.

Prilaku dan praktik pihak perusahaan seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan masyarakat. Sehingga, ada sebuah pengalaman yang bisa dipraktikkan ditempat lain, jika ada peluang dan kemungkinan yang akan terjadi di tempat lain.

Akan tetapi, tidak demikian jika perusahaan tersebut mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHKRE). Skema izin ini tidak memperoleh hasil komoditas tertentu dalam pengelolaan dan pengamanan areal konsesinya.

Atau sebaliknya, pihak pemerintah maupun perusahaan memanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan pekerjaan dan Tindakan tertentu, dengan harapan bisa menyelesaikan konflik lahan atas klaim dari masing-masing pihak masyarakat atau perusahaan.

4. Berjudi Peluang Ganti Rugi 

Bagi masyarakat, segala bentuk upaya klaim atas lahan yang mereka lakukan, bisa dianalogkan dengan sebuah perjudian. Mereka akan merasa beruntung, jika proses negosiasi ganti rugi dimenangkan.

Jika pihak perusahaan bertahan menggunakan dalih hukum sesuai peraturan perundangan, maka pihak masyarakat akan mengalami kerugian atas tenaga hingga modal usaha yang telah dikeluarkan.

Siapa yang diuntungkan dalam konteks ini? adalah para subyek hukum atau para pihak yang ditunjuk sebagai anggota POKJA itulah yang diuntungkan. Keuntungan dalam konteks pengalaman jam terbang, wawasan, pengetahuan, ketenaran nama pribadi dan lembaganya, hingga finansial dan fasilitas selama proses negosiasi konflik berlangsung. 

Tawaran Solusi

Persoalan tenurial di Indonesia memang terjadi secara masif, dan selalu berujung dengan klaim soal status kepemilikan atas obyek tanah/lahan yang disengketakan.

Pokok persoalannya dipicu karena tidak adanya ketegasan atas putusan kebijakan maupun kebijaksanaan pihak pemerintah, ketika menyangkut soal penguasaan dan pengelolaan lahan yang diberikan berdasarkan SK. Menterei kepada subyek hukum tertentu (baca: BUMN/BUMS/Koperasi/Individu).

Salah satu penyebab terjadinya sengketa lahan, karena inkonsistensi pemerintah menerapkan peraturan perundangan, yang disertai prilaku wanprestasi politis atas tanggung jawabnya mensejahterakan masyarakat sekitar hutan.

Sedangkan bagi pihak masyarakat sekitar hutan, keberadaan akan potensi SDA (hutan dan tambang) yang melimpah itu, masih diakui sebagai warisan yang berkeyakinan wajib untuk mempertahankan sekaligus menjadi sumber kehidupan sebagai mata pencahariannya.

Selain itu, progresivftas pihak pengusaha/perusahaan melakukan ekspansi usahanya, cenderung menerapkan sikap oportunitasnya dengan strategi memanfaatkan berbagai peluang dan kesempatan lobbi dan negosiasi kepada pihak pemerintah pemangku kepentingan, maupun dengan meminta bantuan kepada pihak aparat keamanan.

Keyakinan pihak pemerintah dalam menyelesaikan konflik melalui kolaborasi politik-ekonomi antara pihak masyarakat dengan pihak pengusaha/perusahaan bisa direalisasikan dengan baik dan positif, karena harus menghadapi realitas rasa percaya diri masyarakat sekitar hutan yang sangat luar biasa.

Fenomena politik ini didasarkan atas faktor (a) penerapan kebijakan reforma agraria, (b) dukungan moral-politis-hukum dari organisasi massa/NGO tertentu, dan (c) sikap gamang dan pembiaran pemerintah terhadap permasalah yang terjadi dilapangan.

Secara garis besar, persoalan “Tenurial dan Penguasaan Lahan” tidak mudah proses penyelesaiannya. Rekayasan sosial-politik harus dilakukan dengan merancang beberapa skenario berbasis win-win solution. Azas keterbukaan, pastisipatif, keadilan, keamanan dan kepastian hukum bagi semua pihak harus menjadi syarat utama dalam bertindak.

Scenario kemitraan tripartid (pemerintah, masyarakat, perusahaan) harus dirancang dari tingkat basis, melalui pembentukan dan penguatan kelembagaan. Keberadaan kelembagaan harus mampu memobilisasi warga/keanggotaannya untuk taat dan patuh serta tunduk dengan aturan yang mereka putuskan bersama.

Ketaatan dan kepatuhan setiap anggota akan berjalan dengan sendirinya, apabila ada suatu tindakan dan keteladanan yang bisa dilihat dan dicontoh dari sikap dan prilaku yang bisa ditunjukkan dari setiap pimpinan masing-masing pihak.

Harmonisasi antar institusi yang diwakili komunitas dan perusahaan, harus didasarkan pada nilai saling percaya dan saling tergantung. Sehingga semangat kegotong-royongan bisa diwujudkan melalui perjanjian kerjasama dengan kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa.

Peran dan posisi pemerintah sebagai pihak penyedia regulasi, harus bisa memastikan sebagai mediator sekaligus pengadil terhadap setiap konsekwensi hukum-politik selama proses dan praktik interaksinya. Dengan demikian, secara politis kewibawaan pihak pemerintah tidak akan diragukan kapasitas dan profesionalitasnya dalam bertindak dan mengayomi.

Penulis: Khusnul Zaini, SH. MM.
Advokat dan Aktivis Lingkungan Hidup

Bahan bacaan/referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun