Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengulik Kisah Pasar "Pecinan" Patuk

18 Desember 2014   23:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:01 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerimis pertama hampir jatuh saat saya tiba di Pasar Patuk. Saya menghampirinya dari arah Selatan melalui Jalan Bhayangkara, dan berhenti di bibir Jalan Beskalan. Marak lalu lalang orang-orang di bawah langit mendung kota Yogyakarta segera menghiasi pelupuk mata saya.

Menyandang nama "Patuk"—kerap  juga ditulis "Pathuk" dan sesekali "Patok"—pasar rakyat ini di masa kini memang kalah populer bila dibandingkan dengan ketenaran penganan khas buah tangan bernama Bakpia Patuk. Mungkin karena Pasar Patuk adalah pasar dalam arti sesungguhnya, tempat para pedagang berjualan kebutuhan "dapur" sesehari, bukan destinasi wisata/turis.

[caption id="attachment_383676" align="aligncenter" width="500" caption="Pintu utama Pasar Patuk dilihat dari Jalan Bhayangkara, Yogyakarta."][/caption]

[caption id="attachment_383674" align="aligncenter" width="500" caption="Pintu samping Pasar Patuk dilihat dari Jalan Beskalan, Yogyakarta."]

14188931171155865129
14188931171155865129
[/caption]

[caption id="attachment_383678" align="aligncenter" width="500" caption="Larangan, tata tertib, dan jam operasional Pasar Patuk."]

14188932451549582972
14188932451549582972
[/caption]

Di kawasan sisi Barat Jalan Malioboro ini memang marak tersedia aneka bakpia hasil olahan industri rumahan. Cikal bakal Bakpia Patuk merujuk pada penganan yang berasal dari negeri Tiongkok. Di negeri asalnya, kue ini bernama Tou Luk Pia yang artinya adalah kue kacang hijau. Jejaknya di kampung Patuk telah dikenali sejak tahun 1948. Namun, Bakpia Patuk baru mulai berkembang pada 1980-an dan marak semenjak 1990-an seiring dengan kian berkembangnya industri pariwisata.

[caption id="attachment_383679" align="aligncenter" width="500" caption="Inilah Bakpia Patuk dalam kemasan kecil (isi 15)."]

1418893464297220192
1418893464297220192
[/caption]

Kini kue-kue kecil ini telah hadir dengan berbagai varian, tidak hanya tersedia dengan isi kacang hijau—ada keju, coklat, kumbu (kacang merah), durian, bahkan nanas. Demikian pula kemasannya, yang pada mulanya menggunakan besek tanpa label dan dijual satuan, kita tampil cantik dengan kertas karton serta dilengkapi merek tertentu.

[caption id="attachment_383680" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu dari antara sekian banyak kemasan Bakpia Patuk yang eksis di Yogyakarta."]

14188935202145791791
14188935202145791791
[/caption]

Tak seiring dengan semakin terkenalnya bakpia, Pasar Patuk tidak mengalami banyak perubahan, bahkan maraknya kian tergerus. Namun demikian, pasar ini melekat di hati sebagian warga Yogyakarta dan menyimpan catatan serta kisah yang layak dicatat dalam lembar sejarah kota.

Diapit oleh Jalan Pajeksan dan Jalan Beskalan, pasar ini tidaklah besar secara ukuran. Total keseluruhan kawasan pasar, tidak lebih dari 2.000 meter persegi. Jika Anda masuk melalui pintu utama dan melayangkan mata ke sisi kiri, depan, serta kanan, maka ujung pandangan Anda akan menemukan batasnya. Dalam hitungan tak lebih dari lima menit, Anda akan selesai mengelilinginya. Lalu, apa istimewanya? Mari kita mengitarinya.

[caption id="attachment_383682" align="aligncenter" width="500" caption="Di sini Pasar Patuk berada (diolah dari GoogleMaps)"]

1418893560677047769
1418893560677047769
[/caption]

Riwayatmu Dulu

Saya memilih untuk masuk melalui pintu utamanya. Jajaran pedagang dengan bakul-bakulnya menjadi "pagar ayu" menyambut kedatangan saya. Masuk lebih dalam, saya menjumpai situasi khas pasar tradisional. Aneka sayur, bahan masak, makanan siap santap, jajanan populer, serta los-los yang menjual daging membentang hingga ujung mendekati pintu keluar samping di sayap Jalan Beskalan.

[caption id="attachment_383683" align="aligncenter" width="500" caption="Bakul-bakul dan pedagang yang memenuhi akses masuk pintu utama."]

14188936611306027956
14188936611306027956
[/caption]

[caption id="attachment_383685" align="aligncenter" width="500" caption="Para pedagang daging dalam ruang tersendiri."]

1418893714303896504
1418893714303896504
[/caption]

[caption id="attachment_383686" align="aligncenter" width="500" caption="Ikan-ikan dijajarkan dengan rapi untuk mengundang minat pembeli."]

1418893777448727793
1418893777448727793
[/caption]

Saya menghabiskan lorong itu hingga pintu keluar, menapaki tepi Jalan Beskalan, dan masuk lagi melalui pintu samping kedua. Sesekali memotret, saya menyusup ke los penjual daging. Di sini, saya disapa oleh seorang perempuan. Ramah dan terbuka, warga senior itu menyambut rasa ingin tahu saya. "Saya sudah berjualan selama 60 tahun di sini," jelasnya Ibu Yuniarti dengan semangat. Ia kemudian bertutur bahwa semula orang-orang berjualan di tepi Jalan Gandhikan, hingga kemudian pasa ini berdiri. Ibu Yuniarti sendiri dulunya bergabung dengan keluarga besarnya membuka usaha warung bakwan/bakso. Semenjak masuk ke Pasar Patuk, ia berjualan ayam potong, dan terus setia dengan jenis dagangan ini hingga usianya yang kian meninggi.

[caption id="attachment_383688" align="aligncenter" width="500" caption="Ibu Yuniarti yang telah berdagang di Pasar Patuk selama 60 tahun."]

1418893823571530100
1418893823571530100
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun