Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama FEATURED

Sekolah Bukan Bengkel dan Orangtua Bukan Pengusaha Jasa Kurir

31 Juli 2016   23:55 Diperbarui: 15 Juli 2019   04:01 2365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah perayaan, bukan beban (Foto: Kompas.com)

"Dibutuhkan orang sekampung untuk membesarkan seorang anak." Kalimat bijak yang bermuasal dari Afrika ini mencapai puncak atributnya saat diperkenalkan oleh Hillary Clinton melalui buku larisnya "It Takes a Village: And Other Lessons Children Teach Us" (1996).

Pada era "Keluarga Besar", setiap anak yang lahir di muka bumi dirayakan oleh orang sekampung. Ucapan selamat berdatangan sejak konsepsi hadir dalam kandungan seorang ibu, setiap orang berjamaah menjalankan fungsi sebagai psikolog saat kecemasan menginggapi si calon ibu, dan kemudian perayaan pecah mengiringi tangis pertama si jabang bayi.

Di era "Keluarga Inti", esensi perayaan sekampung masih berlangsung. Sentuhan teknologi kekinian turut menjadi penyebar pesan. Maka ucapan "Selamat, ya" berdentingan di aplikasi berbincang. Pun platform lain semisal rentetan yang mengiringi status di Facebook atau caption di Instagram.

Namun seusai itu, kala tiba masa anak untuk bersekolah, kita akan menemukan perbedaan faktual. Pemandangan anak ditunggui oleh baby sitter atau ketika lebih besar ia sekadar diantar bersekolah oleh supir, menjadi penampakan yang lazim.

Sekolah Bukan Bengkel

Dino Patti Djalal, mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat dalam even Supermentor 13 (Yogyakarta, 25 Juli 2016) dengan lugas menyatakan bahwa "pintar saja tidak cukup". Ada banyak aspek yang berpilin dalam membentuk pribadi sukses dalam kenyataan hidup.

Rhenald Kasali (Let's Change!, GPU 2014) membuatnya kian lugas saat ia membuat ilustrasi yang terasa menohok. Mengacu pada konsep Tiga Pilar Pendidikan (Sekolah, Orangtua, dan Lingkungan), apabila seorang anak mendapat nilai sempurna sepanjang rentang ia bersekolah, maka anak tersebut hanya akan mampu meraih nilai tertinggi 30,3.

Berapa kontribusi nilai dari dua pilar lainnya yang bisa ditambahkan pada angka tersebut? Tidak ada, apabila orangtua dengan segala kekayaan uangnya hanya bisa "membeli sekolah mahal" dan berpikir bahwa institusi itu adalah bengkel yang akan "merakit" anak-anaknya menjadi manusia super bagi masa depannya. Sekolah ibarat "mesin proses" instan untuk menghasilkan manusia canggih. Urusan orangtua seolah kerja siang malam, suami-istri agar double income, dan membanting tulang mengelap keringat agar mampu memasukkan anak-anaknya ke "bengkel paling kinclong".

Anak Bukan Dewasa Mini

Setiap anak bertumbuh melalui tahapan proses atas berbagai aspek dalam dirinya. Anak bukanlah orang dewasa dalam format mini yang kemudian diperbesar ukurannya melalui konsumsi pangan. Dr Gordon Neufeld mengungkapkannya dengan terang, "You can't train a caterpillar to be a butterfly and you can't train a preschooler to be an adult."

Setiap pakar mengusung fase atau tahapan pertumbuhan dan perkembangan manusia (agak) berbeda sesuai fokus perhatian dan pembahasan keilmuan mereka. Namun secara ringkas, fase setelah anak lahir hingga ia dianggap masih berada "di bawah kekuasan orangtua" [dalam hal ini mengacu pada pembiayaan pendidikan], tak lain sebagai berikut:

  • Balita (0-5 tahun)
  • Anak-anak (6-10 tahun)
  • Remaja (11-18 tahun)
  • Dewasa Muda (18-21 tahun)

Apabila menggunakan cara pandang "anak adalah dewasa mini", maka urutan di atas tak lebih dari sekadar kategori. Namun sejatinya tidaklah demikian. Itu adalah fase/tahapan, dan setiap fase/tahapan memiliki tugas yang berbeda untuk ditunaikan oleh setiap individu untuk mencapai tahapan menjadi manusia dewasa.

Orangtua Bukan Pengusaha Jasa Kurir

Jika kita mengikuti kelaziman yang berlaku seorang anak dimasukkan ke bangku TK pada usia 4 tahun dan tak perlu diurusi lagi saat ia masuk kuliah, maka terdapat rentang (2+6+3+3) 14 tahun bagi orangtua untuk menjalankan bisnis sebagai Pengusaha Jasa Kurir.

Dalam bisnis jasa kurir yang terpenting adalah setiap barang tiba di tujuannya secara utuh dan tepat waktu. Apakah perlu di-packing secara bagus atau kategori tiba sehari, 3-4 hari, atau 4-7 hari, itu berpulang pada kemampuan bayar dari klien. Dalam bisnis jasa kurir, pemilik modal/usaha tidak punya kewajiban mengantar sendiri. Sejumlah pegawai akan bekerja baginya dan sejumlah moda tranportasi dari pihak ketiga siap menjadi mitra usaha.

Apabila kita melakukan kilas balik dan membuka pengamatan luas, tidakkah orangtua kerap menjalankan "bisnis jasa kurir" berkenaan dengan "menghadirkan anak di sekolah dan memulangkannya ke rumah"?

Jika demikian adanya, maka mengantarkan anak ke sekolah, sekalipun itu hanya pada hari pertama sekolah, setidaknya memiliki urgensi tinggi. Mari kita perbincangkan lebih lanjut.

Dinamika Makna “Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah”

“Mengantar anak di hari pertama sekolah” adalah pintu masuk menuju dunia luas masa depan anak. Dunia ini dapat menjadi dunia magic perwujudan surga fantasi anak, tetapi sekaligus berpotensi sebagai hutan belantara, bahkan dunia horor yang harus dihadapi oleh anak. 

Anak-anak yang diantar ke dunia indah akan membangun kepercayaan diri, kemandirian, psikososial positif, dan sejumlah aspek lain. Namun hal yang berlawanan akan hadir di depan anak-anak apabila ia memasuki dunia yang sebaliknya.

Mengenai “mengantar anak di hari pertama sekolah” dan relasinya dengan Tiga Pilar Pendidikan, saya suka menggambarkannya dengan ilustrasi yang saya sebut Bagan Layang-layang. Pertama-tama yang harus kita sadari adalah apa yang disebut “layang-layang” barulah dapat menjadi layang-layang apabila ia memiliki tulang vertikal dan horisontal. 

Keempat sisinya dibangun dengan keterhubungan (baca: benang) yang erat saling mengikat dan kemudian disempurnakan dengan “selubung” kertas. Keutuhan layang-layang ini menghadirkan empat sudut yang merepresentasikan sosok ANAK, ORANGTUA, SEKOLAH, dan LINGKUNGAN (sekolah).

Bagan Layang-layang (@angtekkhun)
Bagan Layang-layang (@angtekkhun)
Kehadiran anak di sekolah adalah keping pelengkap Tiga Pilar Pendidikan. Anak hadir di tengah pilar Orangtua, Sekolah, dan Lingkungan. Orangtua dan Sekolah bersalin peran menjadi dua penyangga bagi anak untuk “survive” di tanah lapang bernama Lingkungan. 

Anak mulai belajar bersosialisasi secara luas dan mengembangkan kepribadian dan karakter yang membuatnya menjadi pribadi yang khas dan utuh. Namun, teras depan bertajuk “hari pertama sekolah” harus mampu dilalui dengan baik.

Pernahkah kita menyadari dalam rentang hidupnya yang tampak rentan, anak harus melalui krisis hidup yang signifikan baginya. Kehadirannya di dunia dari ruang rahim yang nyaman, adalah krisis pertama yang harus dilaluinya. Dan perpisahan dengan orangtua gara-gara harus menunaikan apa yang dinamakan “bersekolah”, adalah krisis lain yang menyongsong hidupnya. Itulah sebabnya kehadiran orangtua mendampingi anak di usia belia sangatlah signifikan. Dalam aktivitasnya selama jam sekolah, anak akan terus mencari penyangga hidupnya melalui ekor mata.

Anies Baswedan menyatakan dengan lugas bahwa “kehadiran orangtua menemani si anak mengirimkan pesan yang jelas bagi anaknya bahwa orangtuanya mempercayakan kepada sekolah itu untuk mendidik anak-anaknya.”

Bagi orangtua, kehadirannya di sekolah bukanlah sekadar penanda adanya perhatian. Momentum ini akan menjadi “emas” apabila ia dimanfaatkan untuk menjalin relasi dengan pihak sekolah dan sesama orangtua, serta melakukan pengcandraan (mapping) atas sosok anak di antara anak-anak lainnya. Ini menjadi penting karena, pertama, sistem angka dalam rapor tidaklah mudah dibaca oleh orangtua. 

Dibutuhkan interaksi lebih dari sekadar nilai yang tertera, baik dengan walikelas atau guru-guru lainnya. Kedua, orangtua akan berperan menjadi mak comblang dalam kadar tertentu bagi anak dalam berelasi dengan teman-teman lainnya.

Demikian pula sekolah, akan semakin menyadari bahwa institusi pendidikan ini bukanlah bengkel dan setiap anak tidak bernilai “uang sekolah yang dibayarkan”. Melainkan individu yang berbeda sehingga setiap anak adalah unik dan patut dilayani secara pribadi. Komunikasi yang terbuka dengan orangtua akan menjadi jembatan untuk bersama-sama menyertai si anak dalam menempuh perjalanannya di dunia pendidikan.

Itulah dinamika makna “mengantar anak di hari pertama sekolah” dalam uraian ringkas. Selayaknya menjadi momentum untuk dirayakan, alih-alih menjadi beban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun