Mohon tunggu...
khulafaurrosidin
khulafaurrosidin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Dari hati menuju otak

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tiga Formula Menjadi Pemuda Indonesia di Tahun 2026

24 September 2025   04:19 Diperbarui: 24 September 2025   04:19 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Dokumentasi dengan Bupati Bojonegoro dan DPC GMNI Bojonegoro)

Kenalkan, aku Khulafaur Rosidin. Teman-teman bisa memanggilku Faur, Fafa, Fao, atau apa saja yang membuat kita lebih akrab. Saat ini aku berusia 24 tahun dan baru saja menyelesaikan studi S1 meskipun sempat mengalami gap year yang cukup panjang. Aku tinggal di Bojonegoro, tepatnya di Desa Sumberjokidul Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro, dan dari sinilah aku ingin berbagi pandangan tentang masa depan kita sebagai pemuda Indonesia.

Tahun 2026 bukan sekadar angka dalam kalender, melainkan sebuah struktur waktu yang sarat akan tantangan. Kita, para pemuda Indonesia, harus sadar bahwa peran kita begitu besar dalam menghadapi gejolak zaman. Republik ini sudah 80 tahun berdiri, dan generasi usia dua puluhan kini berada di garis depan untuk menjadi aktor perubahan dalam berbagai sektor yaitu fisik, nonfisik, maupun terapan. Menjadi pemuda di era ini adalah kenyataan yang tak bisa kita elakkan, karena sejarah telah menempatkan kita untuk menaklukkan dan memegang jalannya zaman.

Mengapa usia dua puluhan begitu penting? Karena di usia inilah semangat, kecakapan, dan keberanian berpadu untuk membangun rekonstruksi sosial serta memperbaiki lingkungan kehidupan. Kita tidak boleh mundur atau berhenti menghadapi tanggung jawab besar ini. Justru dari tangan kitalah cita-cita Indonesia 2045 akan terwujud: sebuah bangsa yang maju, adil, dan sejahtera berdasarkan sosialisme Indonesia.

Mari kita berjalan bersama untuk terus maju dan membangun Indonesia. Lewat pendidikan, kesehatan, dan kesungguhan tekad, aku yakin kemajuan bangsa ada di depan mata. Jangan remehkan usaha kecil, karena apa yang terlihat sederhana bisa menjadi pemicu perubahan besar di kemudian hari. Seperti kepakan sayap kupu-kupu di Tiongkok yang dapat menimbulkan badai di Amerika, perjuangan kecil kita hari ini akan berbuah manis di masa depan. Ingatlah, manusia yang tidak berguna bagi lingkungannya, sejatinya telah kehilangan arti kehidupan.

Para pendiri bangsa telah merangkai Indonesia di atas nilai gotong royong, sebagaimana Eka Sila yang dirumuskan Bung Karno. Prinsip berat sama dipikul, ringan sama dijinjing adalah bukti bahwa segala hal dapat dihadapi bila kita bekerja bersama. Kini, harapan itu berada di tangan kita, pemuda yang memikul amanat dari barat hingga timur, dari utara hingga selatan negeri ini. Maka lihatlah sekelilingmu, resapi, dan tanyakan pada dirimu sudahkah cita-cita pendiri bangsa itu terwujud?

Untuk menjawab tantangan itu, aku menawarkan tiga formula pembangunan diri bagi seluruh pemuda Indonesia yaitu Pendidikan, Kesehatan, dan Tekad. Tiga hal inilah yang aku yakini sebagai dasar sekaligus pemacu bagi generasi muda yang ingin menjadi bagian dari perubahan besar Indonesia.

Pendidikan adalah kunci pertama bagi pemuda untuk menjadi harapan bangsa. Ia bukan hanya milik usia belia, melainkan hak setiap orang sepanjang hayat. Bagi kawan-kawan yang baru memulai pendidikan di usia dua puluhan, jangan pernah merasa terlambat (kasep, kata orang Jawa). WHO bahkan memperkirakan usia harapan hidup manusia modern bisa mencapai 90 tahun, artinya kesempatan untuk belajar masih terbentang luas. Seperti pepatah mengatakan, belajar di usia muda ibarat mengukir di atas batu sedangkan belajar di usia tua ibarat mengukir di atas air.

Bagi pemuda yang telah menikah dan memiliki anak, pendidikan menjadi tanggung jawab untuk memastikan generasi berikutnya tidak mengulang penderitaan orang tuanya. Memberikan pendidikan yang baik bagi anak adalah warisan terbesar yang bisa ditinggalkan.

Sementara bagi kawan-kawan yang sedang atau telah menyelesaikan pendidikan formal, perjalanan tidak berhenti di bangku sekolah atau kampus. Teruslah belajar, mendalami ilmu, dan membagikannya kepada sesama. Semakin luas wawasan yang kita miliki, semakin sadar kita bahwa banyak hal yang belum kita ketahui. Seperti kata Descartes: "Cogito, ergo sum" aku berpikir, maka aku ada. Maka berpikir, belajar, dan membaca adalah napas yang tidak boleh berhenti selama kita hidup.

Pendidikan menajamkan logika, memperluas pengetahuan, melatih nalar kritis, dan membekali kita menghadapi tantangan zaman. Ia adalah modal utama untuk mengangkat martabat keluarga dari jerat kemiskinan, sekaligus jalan untuk membangun kesetaraan. Tak heran, konstitusi menegaskan kewajiban negara mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan.

Jangan pernah berhenti belajar. Membaca adalah kunci peradaban. Bukankah wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad adalah Iqra' "Bacalah" Dengan membaca, kita menyalakan obor pengetahuan yang akan menerangi langkah kita menuju masa depan bangsa yang maju dan berdaulat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun