Mohon tunggu...
Khorine Ridawati
Khorine Ridawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bertani dan Berbudaya: Tolak Ukur Bahagia Menurut Buruh Tani di Yogyakarta

23 Oktober 2021   20:55 Diperbarui: 23 Oktober 2021   21:22 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Daerah Sleman merupakan Kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang pada tahun 2019 memiliki luas sawah 18.294,93 ha menurut Direktorat Jenderal Penata Agraria yang memberikan informasi dalam rapat daring Bersama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang, serta Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman pada 25/06/2020. Luas wilayah pertanian di Sleman terbilang masih cukup luas dibanding daerah perkotaan sehingga banyak petani yang berada di Daerah Sleman.

Proses penanaman padi di Sleman sama seperti penanaman padi di wilayah lain. Mulai dari penanaman padi  yang biasanya disebut 'nandur pari' sampai pemanenan yang disebut 'derep'. Biasanya para petani berangkat ketika pagi hari dan membawa bekal makan untuk makan siang yang sering disebut 'rolasan'. 

Dan dimulai dari penyebaran bibit padi yang akan ditanam sambil lahan pertanian atau sawah dibajak dengan luku dan garu. Luku dan garu adalah alat tradisional yang digunakan untuk membajak sawah.

Biasanya tanah di bajak terlebih dahulu supaya tanah yang keras bisa hancur dengan menggunakan garu dan ketika tanah sudah hancur tanah akan di bajak lagi dengan luku yang terbuat dari kayu jati supaya tanah lebih gembur. Cara menggerakkan garu dan luku bisa dibilang sedikit rumit karena harus dikaitkan dan ditarik oleh sapi.  

Di era modern seperti ini garu dan luku sudah banyak ditinggalkan karena memakan waktu yang cukup lama dan juga sudah ada alat yang lebih canggih dan lebih mudah digunakan yaitu traktor bajak sawah.

Setelah tanah dibajak, bibit padi ditanam di tanah yang sudah dibajak. Lama penanamannya tergantung luas sawah yang digarap. Setelah setengah bulan padi diberi pupuk dan sawah diairi dari sungai karena padi memerlukan air yang banyak. Padi akan dipanen pada usia 3,5 bulan. 

Masa-masa sebelum dipanen adalah masa-masa yang penuh dengan tradisi budaya yang pada saat ini sudah hampir hilang tradisinya karena sebelum dipanen ada tradisi yang bernama 'wiwitan'.

Wiwitan adalah tradisi kejawen yang sudah ada sejak dulu. Tujuan dari wiwitan adalah berdoa supaya padi yang dipetik direstui, hasilnya baik dan yang memanen padi selalu diberi kesehatan dan keselamatan. Selain berdoa di area sawah, wiwitan juga ada prosesi pengambilan padi pertama sebelum di panen. 

Biasanya wiwitan dilakukan pada sore hari dengan membawa nasi ingkung, telur rebus, gudangan, bubur sum-sum dan buah-buahan. Dan setelah berdoa nasi wiwit dimakan bersama-sama dan dibagikan kepada tetangga-tetangga.

Banyaknya petani yang ada di Sleman bukan berarti tanah-tanah pertanian yang ada di Sleman milik mereka semua. Petani-petani tersebut bukanlah pemilik lahan pertanian atau sawah akan tetapi hanya penggarap lahan pertanian atau sering disebut buruh tani. 

Dan tak sedikit dari mereka yang hanya sebagai penggarap sawah bukan pemilik sawah. Namun tak sedikit juga yang memiliki sawah dan menggarap sawah miliknya.

Seperti buruh tani di daerah Sleman, Mbah Tarimo, yang sudah berumur 70 tahun yang beralih dari pedagang pasar menjadi buruh tani. Sehari-hari Mbah Tarimo menjadi buruh tani untuk mencukupi kehidupannya. Mulai dari menanam padi, jagung, tembakau dan kacang-kacangan. Menurutnya menjadi buruh tani tidak lah mudah. 

Pagi-pagi sebelum matahari terik mereka sudah harus di sawah untuk menggarap sawah dan pulang menjelang maghrib dengan upah yang tak seberapa. 

Dan bahkan untuk menggarap sawah masih menggunakan metode tradisional yang memakan waktu cukup lama. Mereka, para buruh tani, menggarap sawah dengan tulus seperti lahan milik pribadi. Mereka yang menanam, memberi pupuk, menyirami, dan memanen hasil pertanian tetapi tidak semua hasil pertanian untuk kepentingan pribadi.

Mbah Tarimo disamping ia bekerja sebagai buruh tani, ia juga sudah ikut melestarikan tradisi budaya yang sudah ada sejak dulu. Pasalnya tradisi wiwitan saat ini sudah jarang ditemui di berbagai daerah. 

Bahkan di daerah Mbah Tarimo tradisi wiwitan juga sudah hampir punah alias hilang. Siapa lagi kalau bukan generasi muda yang meneruskan tradisi ini?

"Waktu jadi buruh tani sehari biasanya dibayar cuma dua puluh lima ribu sampai lima puluh ribu saja" ujar Mbah Tarimo

Untuk mencukupi kebutuhan satu hari pun terkadang masih kurang apalagi untuk bertahan hidup di masa pandemi seperti ini. Lantas apakah yang membuat para buruh tani khusus nya Mbah Tarimo bisa bertahan hidup dan bahagia?

Tolak ukur Bahagia yang dijelaskan Mbah Tarimo bukanlah dari sisi material seperti uang. Akan tetapi melihat anak dan cucunya yang semakin hari semakin tua dan besar sudah lebih dari cukup menjadikan Mbah Tarimo berbahagia di hari tua ini. 

Dan juga melihat perkembangan teknologi yang kini kian pesat menjadikannya bahagia sekaligus antusias bahwa menanam padi saat ini bisa sangat cepat dengan mesin.

Harapan Mbah Tarimo untuk generasi masa depan adalah jangan malu untuk menjadi petani karena petani bukan suatu pekerjaan yang memalukan dan jika bukan generasi muda yang menjadi petani siapa lagi yang akan menanam padi untuk rakyat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun