Mohon tunggu...
Khorine Ridawati
Khorine Ridawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bertani dan Berbudaya: Tolak Ukur Bahagia Menurut Buruh Tani di Yogyakarta

23 Oktober 2021   20:55 Diperbarui: 23 Oktober 2021   21:22 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seperti buruh tani di daerah Sleman, Mbah Tarimo, yang sudah berumur 70 tahun yang beralih dari pedagang pasar menjadi buruh tani. Sehari-hari Mbah Tarimo menjadi buruh tani untuk mencukupi kehidupannya. Mulai dari menanam padi, jagung, tembakau dan kacang-kacangan. Menurutnya menjadi buruh tani tidak lah mudah. 

Pagi-pagi sebelum matahari terik mereka sudah harus di sawah untuk menggarap sawah dan pulang menjelang maghrib dengan upah yang tak seberapa. 

Dan bahkan untuk menggarap sawah masih menggunakan metode tradisional yang memakan waktu cukup lama. Mereka, para buruh tani, menggarap sawah dengan tulus seperti lahan milik pribadi. Mereka yang menanam, memberi pupuk, menyirami, dan memanen hasil pertanian tetapi tidak semua hasil pertanian untuk kepentingan pribadi.

Mbah Tarimo disamping ia bekerja sebagai buruh tani, ia juga sudah ikut melestarikan tradisi budaya yang sudah ada sejak dulu. Pasalnya tradisi wiwitan saat ini sudah jarang ditemui di berbagai daerah. 

Bahkan di daerah Mbah Tarimo tradisi wiwitan juga sudah hampir punah alias hilang. Siapa lagi kalau bukan generasi muda yang meneruskan tradisi ini?

"Waktu jadi buruh tani sehari biasanya dibayar cuma dua puluh lima ribu sampai lima puluh ribu saja" ujar Mbah Tarimo

Untuk mencukupi kebutuhan satu hari pun terkadang masih kurang apalagi untuk bertahan hidup di masa pandemi seperti ini. Lantas apakah yang membuat para buruh tani khusus nya Mbah Tarimo bisa bertahan hidup dan bahagia?

Tolak ukur Bahagia yang dijelaskan Mbah Tarimo bukanlah dari sisi material seperti uang. Akan tetapi melihat anak dan cucunya yang semakin hari semakin tua dan besar sudah lebih dari cukup menjadikan Mbah Tarimo berbahagia di hari tua ini. 

Dan juga melihat perkembangan teknologi yang kini kian pesat menjadikannya bahagia sekaligus antusias bahwa menanam padi saat ini bisa sangat cepat dengan mesin.

Harapan Mbah Tarimo untuk generasi masa depan adalah jangan malu untuk menjadi petani karena petani bukan suatu pekerjaan yang memalukan dan jika bukan generasi muda yang menjadi petani siapa lagi yang akan menanam padi untuk rakyat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun