Kecelakaan yang terjadi beberapa hari lalu menyebabkan banyak anggota keluarga harus menghilang dari pandangan. Bapak, ibu, dan kakek yang saat itu sedang berkunjung ke rumah saudara tidak bisa melawan takdir yang merenggut nyawanya. Nyawa yang hanya satu-satunya dan tak bisa diisi ulang tuk sekedar melihat senyum keluarga untuk yang terakhir kali. Sungguh menyakitkan.
Penghuni rumah tua di desa kenangan pinggir sungai itu tinggal sang nenek dan cucu laki-lakinya. Â Cucu yang bernama Seno itu mewarisi ketampanan bapaknya yang dulu menjadi idaman para wanita.Â
Sehingga tak heran, jika Ibu Seno dulu tergila-gila pada suaminya dan langsung diserang cinta dalam waktu yang tidak wajar. Hari ini jatuh cinta, besok ia langsung mengungkapkannya. Demi lelaki itu, Ayah Seno.
Setiap hari Seno suka bermain layangan di pagi hari. Dalam hati ia ingin menjadi seperti layangan yang bebas terbang ke mana pun ia suka: ke gunung, ke hutan, bahkan mengelilingi lautan lepas tanpa harus cemas kembali ke rumah. Sebab rumahnya adalah alam dan segala yang ada di dalamnya. Termasuk keluarga yang Tuhan tentukan tanpa ia minta.
Sebelum kepergian kedua orang tuanya, Seno dikenal sebagai anak yang baik dan pendiam. Hari-harinya banyak dihabiskan di rumah, sekolah, dan sawah yang menjadi sumber utama kehidupan keluarga.Â
Meskipun tidak terlalu besar, namun Ayah Seno dan Kakek dengan telaten merawat sawah dengan sepenuh hati. Tak terlihat sama sekali sampah dan limbah di sana. Semuanya tampak rapi seperti kasih yang ditata dengan rapi di setiap lini.
Nenek Seno sudah tiga tahun harus terbaring di ranjang setelah divonis dokter menderita penyakit stroke. Tangan dan kaki yang dulu masih patuh pada perintah kini sudah berani melawan tuannya.Â
Hanya beberapa aktivitas yang bisa ia lakukan sendiri seperti makan, minum, dan berdzikir agar tak lupa pada Tuhan. Meski terkadang ia merasa jengkel kepada Tuhan karena semua ini adalah ulah-NYA. Tapi ia juga sadar, bahwa membenci-NYA hanya membuat dirinya semakin sengsara.
Keadaan ekonomi yang menghimpit memaksa Seno untuk berhenti sekolah. Mengapa tidak? biaya SPP, buku, dan beberapa keperluan lainnya menghabiskan banyak uang yang itu bisa dipakai untuk makan beberapa hari ke depan.Â
Bayangkan, jika uang sebanyak itu harus dibayarkan ke sekolah, berapa hari perut mereka harus menahan lapar? Apalagi cacing di perut mereka bukanlah petapa yang kuat meski harus tidak makan beberapa hari hingga beberapa bulan.
Sedih adalah hal pertama yang dirasakan Seno saat mendengar keputusan dari pihak sekolah.