Secara kognitif, metafora ini memperkuat skema "politik sebagai perang", karena  polisi dinilai telah menjadi "senjata" kekuasaan, bukan pelayan publik. Dampaknya, istilah ini tidak hanya deskriptif, tapi preskriptif: mendorong masyarakat mempertanyakan netralitas polisi, sebagaimana terlihat dalam viralnya tagar #PARCOK di X, yang membentuk opini kolektif tentang korupsi institusional.
Wacana Kritis dan Polarisasi
Dalam konteks Indonesia, PARCOK digunakan oposisi seperti PDI-P untuk delegitimasi pemerintah Prabowo. Deddy Yevri Sitorus dari PDI-P menyatakan bukti keterlibatan "PARCOK" di Pilkada 2024 sebagai "perusak demokrasi", membingkai polisi sebagai "partai bayangan" yang melanggar konstitusi.
Ini menciptakan polarisasi: "kami" (oposisi sebagai penjaga demokrasi) vs. "mereka" (pemerintah dan polisi sebagai manipulator). Istilah ini bukan netral; ia ideologis, mereproduksi narasi bahwa polisi telah "dikocok" oleh kekuasaan eksekutif, seperti dalam kontroversi Yulius Setiarto yang disanksi MKD DPR karena unggahan TikTok-nya.
Politik PARCOK juga mencerminkan tren media sosial sebagai arena wacana, di mana istilah viral seperti ini memobilisasi publik. Van Dijk menyebut ini "representasi diri" positif: oposisi memposisikan diri sebagai whistleblower, sementara menstigmatisasi polisi sebagai "partai coklat" yang merusak netralitas.
Implikasinya, PARCOK memperdalam distrust terhadap institusi, seperti dugaan intervensi di Jawa Tengah dan Banten, yang bisa memicu reformasi hukum atau polarisasi lebih lanjut. Dalam perspektif ini, bahasa bukan pasif; ia aktif membentuk agenda politik, di mana "PARCOK" menjadi senjata retoris untuk gugat ke MK dan mobilisasi pemilih.
PARCOK, sebagai metafora kognitif, membingkai polisi sebagai aktor partisan, memengaruhi pemikiran masyarakat tentang netralitas negara. Secara politik, ia alat wacana kritis untuk polarisasi, mereproduksi ideologi oposisi melawan kekuasaan.
Di era digital, istilah seperti ini mempercepat viralitas narasi, menuntut analisis linguistik untuk memahami dinamika kekuasaan Indonesia. Hanya dengan membongkar metafora ini, masyarakat bisa membedah antara fakta dan framing, menuju demokrasi yang lebih transparan. **
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI