Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"TV Cerdas" di Sekolah: Mencusuar Digital dan Pajangan Mahal?

19 September 2025   07:34 Diperbarui: 19 September 2025   07:34 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Smart TV Rp26 Juta Dibagikan ke 330 Ribu Sekolah, Program Digitalisasi Prabowo Tuai Sorotan - Melihat Indonesia 

Setelah Program MBG, Presiden Prabowo Subianto kembali meluncurkan program besar yang mencuri perhatian publik: membagikan  330 ribu unit "TV Cerdas" (Smart TV) produksi "Hisense" ke sekolah-sekolah hingga akhir 2025. Dengan harga sekitar Rp26 juta per unit, total anggaran yang digelontorkan pun cukup fantastis:  lebih dari Rp8,5 triliun.

Di atas kertas, gagasan ini terdengar menjanjikan. "TV Cerdas" dengan fitur kamera, sistem operasi interaktif, serta siaran dua arah digadang mampu menghadirkan "kelas masa depan". Seorang guru matematika dari Jakarta musalnya, bisa mengajar ribuan siswa SMP di Papua.

Konten interaktif berupa animasi sains, dokumenter sejarah, hingga simulasi laboratorium dapat hadir di sekolah terpencil yang selama ini kekurangan fasilitas. Bahkan, sistem pemantauan kelas memungkinkan evaluasi pembelajaran dilakukan lebih objektif.

Jika dijalankan dengan baik, "TV Cerdas" diyakini akan  menjadi jembatan  mengurangi ketimpangan mutu Pendidikan antarwilayah di negeri ini. Ia juga berpotensi memperkuat literasi digital siswa dan membiasakan mereka dengan teknologi abad ke-21.

Namun, optimisme itu segera dihadang oleh sejumlah pertanyaan mendasar: apakah program ini sungguh menjawab krisis pendidikan, atau justru sekadar reformasi kosmetik? Tampak gemerlap di permukaan, namun rapuh di dalam.

Sejarah memberi kita banyak pelajaran. "Ujian Nasional Berbasis Komputer" (UNBK) pernah dielu-elukan sebagai tanda modernisasi. Tetapi di lapangan, banyak sekolah kewalahan: komputer tak mencukupi, listrik sering padam, jaringan internet tak stabil.

Program "Laptop untuk Siswa dan Guru" pun bernasib serupa. Meski digadang-gadang mendorong literasi digital, kenyataannya banyak perangkat rusak, usang, atau terbengkalai karena tak diintegrasikan dengan kurikulum dan minim pelatihan guru. Alih-alih meningkatkan kualitas belajar, teknologi justru berubah menjadi beban.

Pola yang sama terlihat pada buku digital dan sejumlah platform _e-learning_. Buku digital kerap terkendala keterbatasan perangkat dan akses internet, sementara platform _e-learning_ yang menghabiskan biaya besar akhirnya ditinggalkan karena rumit, tidak relevan dengan kebutuhan siswa, atau tanpa dukungan teknis.

Semua itu menunjukkan satu hal: modernisasi pendidikan berbasis teknologi sering kali berhenti pada simbol. Ia memberikan kesan maju, tetapi gagal menyentuh akar masalah pendidikan: kualitas pengajar, kesenjangan infrastruktur, dan budaya belajar yang partisipatif. Kebijakan pengadaan "TV Cerdas" ini pun, jika tidak dipersiapkan secara matang,  berpotensi mengulang kebijakan-kebijakan tersebut.

Setidaknya ada empat masalah besar yang layak diwaspadai. Pertama, kesenjangan infrastruktur. Internet cepat belum merata, terutama di daerah 3T. Tanpa jaringan memadai, "TV Cerdas" tidak lebih dari pajangan mahal di ruang kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun