Bangsa yang literat adalah bangsa yang warganya tidak hanya mampu membaca dan menulis, tetapi juga menggunakan keterampilan itu untuk berpikir kritis, memahami informasi, serta mengolah pengetahuan bagi kemajuan bersama. Literasi di sini mencakup kemampuan kognitif, sosial, dan kultural yang membuat masyarakat aktif berpartisipasi dalam membangun peradaban.
Â
Gelombang penutupan toko buku di berbagai kota di Indonesia seakan menampar mimpi kolektif kita tentang menjadi bangsa literat. Menurut data "Gabungan Toko Buku Indonesia" (Gabti), dalam 15 tahun terakhir hampir separuh toko buku di Indonesia tutup karena tak mampu menanggung biaya sewa, listrik, dan gaji karyawan.
Toko Buku Gunung Agung, ikon yang berdiri sejak 1953 misalnya, telah  menutup seluruh gerainya pada 2023. Begitu juga jaringan Toko Buku Togamas. Di kota Bandung,  kawasan bursa buku Palasari yang pernah hidup 24 jam,  kini makin sepi. Sebagian di antaranya telah tutup permanen sejak 2019--2023.
Fenomena tersebut  bukan hanya soal bisnis perbukuan yang meredup, tetapi juga merupakan gejala sosial: ruang publik untuk literasi komersial kian menyempit. Yang masih bertahan saat ini hanya jaringan besar seperti Gramedia. Mereka masih bisa beroperasi konon karena ditopang penjualan alat tulis dan perlengkapan kantor. Gulung tikarnya sejumlah jaringan toko buku di negeri ini sungguh merupakan alarm keras betapa rapuhnya ekosistem literasi kita.
Runtuhnya banyak toko buku di negeri ini tentu dipicu oleh beragam faktor, mulai dari pergeseran minat baca, tekanan ekonomi, hingga gempuran platform digital. Namun, ada pula faktor lain yang tak kalah memprihatinkan, yakni gaya hidup hedonis di kalangan anak muda, khususnya mahasiswa.
Berdasarkan pengamatan subyektif, penulis menangkap gejala yang memprihatinkan, namun  perlu dibuktikan lewat penelitian. Pada sebagian besar kalangan mahasiswa membeli buku fisik sering dianggap sebagai "kemewahan". Sedangkan menghabiskan uang mereka untuk nongkrong di kafe, belanja fesyen, atau berlangganan hiburan digital justru dipandang sebagai kebutuhan.
Ironisnya, pemerintah dan masyarakat sipil kerap menggaungkan jargon literasi. Dari program taman baca hingga lomba menulis, dari pekan literasi sekolah hingga festival buku, kata "literasi" seolah menjadi mantra yang menenangkan. Namun apa artinya semua itu bila akses terhadap buku makin sulit?
Data internasional menunjukkan realitas pahit. Laporan PISA 2022 menempatkan kemampuan membaca siswa Indonesia pada peringkat bawah dari 81 negara yang disurvei. UNESCO bahkan mencatat rata-rata minat baca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara tetangga.
Â