Tanggal 16 Juni 2025. Gedung Auditorium Ahmad Sanusi yang berada di dalam Kampus UPI Bumi Siliwangi kota Bandung, Â menjadi saksi bagi peristiwa yang seharusnya sakral, tetapi justru memantik perdebatan publik: pelantikan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang dilakukan dengan pengucapan sumpah jabatan dalam bahasa Inggris.
 Sekilas terdengar prestisius, berkelas, bahkan global. Namun, di balik gemerlap prosesi akademik itu, mencuat satu pertanyaan sederhana namun tajam: mengapa rektor harus bersumpah dalam bahasa Inggris?
Pertanyaan tersebut lantas segera saja menyebar bukan hanya di lorong-lorong kampus atau grup diskusi daring, tetapi juga menggugah reaksi tajam dari Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal. Wakil dari PKB tersebut memilih walkout sebagai bentuk protes.
Ia menilai, penggunaan bahasa asing dalam sumpah jabatan bukan sekadar kekeliruan administratif---tetapi bentuk pengabaian terhadap hukum dan identitas bangsa. Sebab dalam konstruksi hukum Indonesia, bahasa bukan hanya alat komunikasi. Ia adalah lambang kedaulatan, martabat, dan pemersatu nasional.
Bahasa Sebagai Teks Kenegaraan
Â
Indonesia bukan hanya negara hukum, tapi juga negara bahasa. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang dengan jelas menyatakan bahwa sumpah jabatan wajib diucapkan dalam bahasa Indonesia. Pelanggaran terhadapnya, apalagi di lingkungan kampus---terutama UPI, yang notabene mengusung nama "pendidikan"---bukan hanya paradoks, melainkan ironi yang menyakitkan.
Bahasa bukan soal kosakata dan tata bahasa semata, melainkan soal makna dan marwah. Ketika seorang rektor bersumpah dalam bahasa Inggris, apa yang sedang dirayakan? Kecanggihan intelektual? Internasionalisasi? Atau sekadar impresi palsu akan "kemajuan"?
Di sisi lain, apa yang sedang dikorbankan? Rasa hormat terhadap hukum nasional, atau mungkin kepercayaan publik bahwa institusi pendidikan masih tegak menjaga nilai-nilai kebangsaan?
Antara Globalisasi dan Nasionalisme