Berbicara mengenai hukum acara pidana tidak mungkin lepas dari sistem peradilan pidana yang sangat berkaitan erat dengan sistem hukum yang berlaku di sebuah negara. Hal ini merupakan suatu kewajaran, karena sistem peradilan pidana adalah salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara. Oleh karena itu, setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan pidana yang hampir sama secara garis besarnya, namun memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya dan politik yang dianut. Â Secara sederhana sistem peradilan pidana adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Proses itu dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan akhirnya pengadilan.
Menyinggung sistem peradilan pidana, di Indonesia akan mengalami reformulasi besar-besaran dalam konteks hukum pidana. Mulai dari pengesahan KUHP baru pada tahun 2023 sampai adanya RUU KUHAP. Namun, perhari ini dalam proses pembahasannya terdapat beberapa problem dalam substansi RUU KUHAP ini. Setidaknya, RUU KUHAP ini  memiliki sembilan catatan kritis, yakni sebagai berikut:
Pertama, dalam kaitannya dengan model bercara dalam sistem peradilan pidana. Â Tidaklah dapat dinafikkan bahwa RUU KUHAP lebih condong pada due process of law yang menitikberatkan pada perlindungan hak-hak tersangka. Hal ini sama dengan tujuan hukum pidana menurut aliran klasik yang lebih menitikberatkan pada kepentingan individu dan bukan dalam rangka melindungi masyarakat dari kejahatan.
Kedua, masih terkait dengan due process of law, adanya indikasi yang kuat bahwa RUU KUHAP merujuk pada model tersebut yakni adanya lembaga hakim pemeriksaan pendahulaun yang secara filosofis menolak efisiensi dalam proses peradilan. Hal ini akan bersinggungan dengan prinsip umum dalam hukum acara yang mengenal asas cepat, sederhana dan biaya ringan.Â
Ketiga, due process menghasilkan prosedur dan substansi perlindungan terhadap individu16. Setiap prosedur dalam due process menguji dua hal. Pertama, apakah penuntut umum telah menghilangkan kehidupan, Â kebebasan dan hak milik tersangka tanpa prosedur. Kedua, jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due process17. Tidaklah mudah menerapkan due process of law di Indonesia, di tengah keadaan hukum yang penuh dengan praktek-praktek mafia peradilan dan judicial corruption.
Keempat, masih terkait dengan kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan dalam penerapannya tidak mudah dilaksanakan mengingat kondisi geografis di Indonesia. Dalam waktu yang relatif singkat harus dapat menghadapkan tersangka secara fisik kepada hakim pemeriksaan pendahuluan dalam rangka perpanjangan penahanan. Keberadaan hakim pemeriksaan pendahuluan ada pada setiap Pengadilan Negeri yang wilayah yurisdiksi sama dengan wilayah administratif pemerintahan kota atau kabupaten. Di daerah-daerah kawasan timur Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, satu kecamatan teridiri dari satu bahkan beberapa pulau. Dengan sarana transportasi yang terbatas, tidaklah mudah menghadapkan tersangka secara fisik ke pengadilan negeri, belum lagi faktor keamanan.
Kelima, seyogyanya dalam KUHAP di masa yang akan datang harus ada perlindungan kepentingan yang proporsional. Hal ini sesuai dengan doktrin keberadaan hukum pidana yang harus melindungi tiga kepentingan, masing-masing adalah individuale belangen (kepentingan-kepentingan individu), sociale of maatschappelijke belangen (kepentingan-kepentingan sosial atau masyarakat) dan staatsbelangen (kepentingan-kepentingan negara). Hukum pidana berfungsi untuk melawan tindakantindakan yang tidak normal sebagaimana dikatakn oleh Vos "..... het starfrecht zich richt tegen min of meer abnormale gedragingen"18. Tindakan-tindakan tidak normal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang menyerang kepentingan individu, kepentingan masyarakat maupun kepentingan negara. Oleh sebab itu hukum acara pidana yang idial harus ada keseimbangan perlindungan antara kepentingan individu dalam hal ini adalah pelaku kejahatan, kepentingan masyarakat yang terusik karena adanya korban kejahatan dan kepentingan negara dalam melaksanakan penuntutan dan penghukuman.
Keenam, dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi tentunya tidak terlepas dari RUU KUHP yang dibahas bersamaan dalam satu paket dengan RUU KUHAP. Dalam RUU KUHP, korupsi dimasukkan dalam satu subbab pada Buku Kedua yang secara mutatis mutandis proses beracara akan merujuk pada KUHAP. Dengan demikian sifat dan karakter korupsi sebagai extraordinary crime yang bertaraf internasional kemudian berubah menjadi kejahatan biasa sehingga memberi dampak tidak perlu ditangani dengan cara-cara yang luar biasa.
Ketujuh, masih berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, operasi tangkap tangan yang selama ini diandalkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentunya didahului dengan serangkaian tindakan penyadapan. Hal ini berdasarkan RUU KUHAP dibatasi karena penyadapan harus dengan izin terlebih dulu. Sudah barang tentu, ketentuan tentang penyadapan sebagaimana yang terdapat dalam RUU KUHAP menghambat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Kedelapan, RUU KUHAP yang cenderung menggunakan due process of law, menolak efisiensi dan efektivitas dalam penyelesaian suatu perkara. Hal ini bertentangan dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang salah satu tujuannya adalah menecegah dan memberantas korupsi secara efisien dan efektif.