OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah kerajaan yang sering dilanda bencana, Raja memanggil delapan (hasta) hewan penjaga yang paling kuat di negerinya. Kedelapan hewan itu adalah: Gajah (dwipangga) yang perkasa, Naga (sarpa) yang bijaksana, Ular yang lincah, Buaya (bajul) yang ganas, Kadal (menyawak) yang cepat, Tokek (tekek) yang waspada, Ular Python (ular sawa) yang kuat, dan Badak (brahma) yang berani.
Raja memberikan mereka tugas untuk menjaga delapan penjuru mata angin, melindungi kerajaan dari delapan jenis bencana (bebaya) yang sering datang. Namun, ada masalah: kedelapan hewan ini tidak akur. Mereka saling merendahkan dan bersaing.
"Aku yang paling kuat," seru Gajah sambil menghentakkan kakinya. "Tidak ada yang bisa menandingiku!"
"Kekuatan bukanlah segalanya," bantah Naga. "Aku yang paling bijaksana. Kekuatanku ada pada racun dan pengetahuanku."
Buaya hanya diam di air, menertawakan mereka. "Kalian bicara, aku bersembunyi. Kekuatan sejati adalah kejutan, bukan pameran."
Para hewan lain pun berdebat. Mereka tidak bisa bekerja sama, dan akibatnya, kerajaan tetap dilanda bencana. Bencana banjir datang dari utara, kebakaran dari timur, penyakit dari selatan, dan badai dari barat.
Raja sangat sedih. Ia akhirnya memanggil seorang Maharsi (pendeta agung) untuk meminta nasihat.
"Tuanku Raja," kata sang Maharsi. "Para hewan itu seperti delapan nafsu di dalam diri manusia. Jika mereka tidak bisa bersatu, mereka akan saling menghancurkan, bukan melindungi. Mereka harus menyatukan kekuatan, bukan memisahkannya."
Raja pun kembali kepada para hewan. "Aku tidak memintamu untuk menjadi yang terkuat, terbijak, atau tergagah. Aku memintamu untuk menjadi satu. Gabungkan semua kekuatan dan kebijaksanaanmu."