OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa di kaki gunung, hiduplah seorang Koki bernama Rasa. Ia dikenal karena masakannya yang selalu memiliki enam rasa (rasa nenem) yang sempurna: manis, pahit, asin, asam, pedas, dan gurih. Namun, Rasa selalu kesepian. Ia tinggal di sebuah gubuk yang dikelilingi pohon (wreksa) rindang, dan hatinya terasa kosong.
Suatu hari, seorang Wayang (dalang) tua datang ke desa. Ia membuat pertunjukan di bawah pohon beringin. Pertunjukan itu penuh dengan cerita tentang kehidupan dan perasaan manusia. Ketika dalang menceritakan kisah tentang kekosongan, Rasa merasa seolah cerita itu tentang dirinya. Hatinya seperti diiris-iris, terasa pahit (tikta) dan manis (madura) pada saat yang bersamaan.
Setelah pertunjukan, Rasa menemui dalang. "Tuan, saya memiliki semua rasa dalam masakan saya, tapi hati saya hampa. Ada yang salah dengan saya?"
Dalang tersenyum. "Kau memiliki enam rasa di lidahmu, tapi kau belum memiliki satu rasa di hatimu."
"Apa maksudnya, Tuan?" tanya Rasa bingung.
"Hidup ini ibarat sebuah pertunjukan wayang. Ada rasa manis saat bahagia, pahit saat kecewa, dan semua rasa lainnya. Namun, jika kau tidak menyatukan semua rasa itu menjadi satu rasa tulus untuk berbagi, hatimu akan tetap hampa."
Rasa merenung. Ia menyadari bahwa ia selalu memasak untuk dirinya sendiri, menyempurnakan rasa demi ego. Ia tidak pernah memikirkan siapa yang akan memakannya atau apa rasa yang akan mereka dapatkan.
Keesokan harinya, Rasa memasak makanan dari enam rasa yang ia kuasai, lalu membawanya ke sebuah pertemuan desa. Ia membagikan masakannya kepada semua orang. Wajah-wajah yang kelelahan dari pekerjaan mereka (reretu) kini tersenyum. Hati mereka menjadi hangat saat mencicipi makanan itu. Ada rasa bahagia, rasa haru, dan rasa syukur.
Rasa melihat semua itu dan air matanya menetes. Ia akhirnya merasakan rasa yang paling enak (raras), yaitu rasa kebersamaan dan rasa memberi. Ia merasakan hatinya bergerak (mobah) dan penuh. Ia telah menemukan satu rasa sejati yang lebih berarti daripada enam rasa lainnya.
Sejak saat itu, Rasa tidak lagi memasak untuk kesempurnaan, tetapi untuk kebahagiaan orang lain. Ia menemukan arti hidup, bukan pada enam rasa yang ia kuasai, tetapi pada satu rasa tulus yang ia bagikan.