OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pernah lihat anak lebih anteng main game sampai berjam-jam daripada belajar? Atau melihat mereka hafal semua karakter di TikTok tapi kesulitan memahami pelajaran di sekolah? Apa yang salah?
Sebagai seorang Kepala Sekolah yang juga sehari-hari mengedit buku-buku pelajaran, saya melihat akar masalahnya bukan pada anaknya, tapi pada cara kita mengajar. Dunia mereka sudah penuh dengan teknologi yang interaktif, sementara metode belajar kita seringkali masih stuck (terjebak, ---lebih dari sekedar stagnasi) pada ceramah, catat, dan hafal. Untuk menyiapkan mereka menghadapi Indonesia Emas 2045, kita harus berani berubah. Dan salah satu kunci utamanya adalah pendekatan STEM.
Apa itu STEM? Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika. Kedengarannya rumit untuk anak SD? Sama sekali tidak! Justru ini adalah cara belajar paling seru.
Bayangkan, alih-alih menghafal definisi "kalor" dan "mencair", siswa-siswa saya justru membuat es krim sendiri di kelas! Mereka bereksperimen mencampur susu, gula, dan vanilla. Lalu mereka mengocoknya dalam es batu dan garam. Dari situ, mereka bukan hanya paham teori, tapi juga belajar sains (perubahan wujud), matematika (perbandingan bahan), teknik (cara mengocok yang efektif), dan teknologi (cari resep di internet). Hasilnya? Mereka antusias, paham konsep, dan yang paling penting, terlatih jadi problem solver.
Atau, dalam proyek lain, mereka belajar konsep kimia-fisika dengan membuat batik jumputan atau ecoprint dari daun-daunan. Hasilnya bukan hanya nilai bagus, tapi juga karya yang bisa dibanggakan dan bahkan punya nilai jual. Ini baru pembelajaran yang bermakna!
"Highlight Peran Ganda"
Jadi, kepada rekan-rekan guru dan orang tua, mari kita ubah mindset. Belajar bukan untuk menghadapi ujian, tapi untuk menghadapi kehidupan.