OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit jingga mulai disapu kelam. Sardiman baru saja duduk di lincak depan rumah ketika Jemani menyembul dari kegelapan, napasnya masih terengah, wajahnya semringah.
"Man, ayo njala! Di Kedhung Singkal lagi banyak kutuk sama wader. Kata orang, cukup sekali lempar, jala bisa penuh!" serunya tanpa basa-basi.
Sardiman menoleh tajam. "Kowe edan, Ni? Ini bulan Apit, Jumat Wage. Petungan hari naas! Orang waras mana yang berani ke sana malem-malem?"
Jemani mendengus. "Ah, petungan! Kalau terus-terusan mikir hari buruk, kapan kita bisa makan enak? Anak-istriku sudah bosan lauk tempe."
Sardiman menelan ludah. Ia tahu Jemani ada benarnya. Tapi Kedhung Singkal bukan sekadar sungai biasa. Banyak cerita yang berseliweran, tentang orang hilang atau pulang dengan mata kosong. Ia ingin menolak, tapi lidahnya kelu.
"Takut dibilang pengecut, ya?" Jemani menyeringai. "Kalau gitu, aku berangkat sendiri!"
Sardiman menggeram. Harga dirinya terusik. Dengan berat hati, ia pamit ke istrinya, pura-pura bilang hanya ke sungai dekat rumah.
Perjalanan menuju Godo terasa lebih panjang dari biasanya. Sepeda mereka melintasi jalan desa yang sunyi, hanya ditemani cahaya bulan purnama yang pucat bagai wajah orang sakit. Begitu memasuki jalur setapak menuju Kedhung Singkal, udara berubah dingin menusuk. Pepohonan tinggi menjulang, dahan-dahannya bertaut seperti tangan-tangan tua yang menutup jalan. Cahaya bulan tersaring tipis, hanya menetes di sela daun, menciptakan bayangan yang berayun pelan seolah hidup.
Jangkrik beradu nyaring dengan suara kodok. Sesekali terdengar bunyi yang tak bisa Sardiman kenali, mirip orang bersenandung lirih. Angin berdesir, membuat dedaunan berisik seperti bisikan. Bulu kuduk Sardiman tegak. Ia menyalakan senter di dahinya, cahaya putih itu menembus gelap, tapi gelap di sana terasa lebih padat, seperti sedang menelan balik sinar itu.
"Cepat, Man! Dengar? Airnya berisik! Ikan lagi pada main," bisik Jemani penuh semangat. Ia menerobos semak menuju tepi kedhung.
Kedhung Singkal terbentang bagai cermin raksasa. Airnya berkilauan oleh cahaya bintang, tapi bagian tengahnya pekat, hitam legam, seolah sebuah sumur tak berdasar. Sardiman menelan ludah, merasa ada sepasang mata yang menatapnya dari pusaran gelap itu.
Ia memilih spot agak jauh dari Jemani, melempar jala sekali, dua kali, tiga kali. Hasilnya kosong. Tidak seekor pun ikan, bahkan suara cipratan kecil pun tak ada. Seperti semua penghuni kedhung bersembunyi.
"Dasar hari sial!" gumamnya. Ia ingin membujuk Jemani pulang sebelum terlambat.
Namun saat ia berbalik, senternya mati. Bukan meredup, tapi seketika padam---seolah diseruput sesuatu dari kegelapan. Dunia tiba-tiba hitam.
Kreek...
Suara ranting patah. Sardiman membeku. Dari balik pepohonan, dua sosok kecil merayap keluar. Tubuh mereka bungkuk, terbungkus kain mori kusam yang menyeret tanah. Salah satunya berjanggut panjang, berkilau pucat diterpa cahaya bulan. Wajah mereka keriput, matanya bukan sekadar kosong---tapi seperti dua lubang lumpur pekat yang tak memantulkan apa-apa.
"Pulanglah..." suara salah satunya berdesis, lirih tapi menusuk telinga. "Ikuti temanmu. Kelak kau akan jadi abdi di keraton Gunung Sedaku."
Darah Sardiman membeku.
"Maaaaaan! Tolong! Aku dapat ikan banyak! Berat sekali, cepat bantu!"
Suara Jemani! Terdengar jelas dari arah kedhung. Tapi ada nada aneh di dalamnya---seperti suara orang yang dipaksa keluar dari kerongkongan.
"Dia sudah terpikat," bisik si berjanggut. "Kau pulanglah. Cari orang lanang yang nginang di Godo. Sekarang... pergi."
Sardiman ingin bertanya, tapi kedua sosok itu mengabur, memudar ditelan angin, tak meninggalkan jejak. Seketika, senternya menyala kembali.
Dengan napas terengah, ia berlari menuju suara Jemani. Yang ia lihat membuatnya hampir pingsan.
Jemani berdiri di air sedalam pinggang, wajahnya pucat, matanya kosong, bibirnya tersenyum terlalu lebar hingga membuat pipinya tegang. Tangannya menarik jala yang tampak berat.
Di dalam jala, bukan ikan. Melainkan gumpalan-gumpalan bayangan hitam, berdenyut, meronta seperti hewan yang tak berbentuk. Setiap gerakan bayangan itu mengeluarkan desis lirih, bagai doa terbalik.
"Man... banyak sekali! Kaya raya kita! Ayo, bantu tarik!" Jemani terkekeh, suaranya parau bercampur gema.
"Jemani, itu jebakan!" Sardiman menerjang ke air, meraih lengan temannya. Jemani meronta, matanya berkilat aneh, tubuhnya seakan lebih berat dari biasanya.
Setelah perjuangan sengit, Sardiman berhasil menyeretnya ke darat. Jala dan keranjang ditinggalkan begitu saja. Mereka berlari sekuat tenaga, tak peduli suara gemuruh air yang mengejar di belakang.
Keesokan harinya, tubuh mereka masih gemetaran. Sardiman menemui Mbah Sarpani, sesepuh Godo yang selalu mengunyah sirih.
Mbah Sarpani mendengarkan tanpa menyela. Setelah lama terdiam, ia hanya berucap, "Yang kau lihat bukan kawanmu memanggil. Itu lidah kedhung yang menirukan suaranya. Jemani sudah disentuh ilusi. Sekali mendengar panggilan itu, ia takkan benar-benar bebas."
Sardiman menoleh ke Jemani. Temannya duduk mematung, wajah pucatnya menatap kosong ke lantai, jari-jarinya bergerak seolah sedang meraba jala tak kasat mata.
"Apakah dia bisa sembuh, Mbah?" suara Sardiman nyaris berbisik.
Mbah Sarpani mengunyah sirihnya pelan, mata tuanya menatap jauh ke luar rumah. "Kalau bulan purnama datang lagi, dan angin membawa bisikan dari kedhung... hanya hatinya sendiri yang bisa menolak. Tapi ingat, nak---air itu sabar. Ia selalu menunggu."
Sardiman merinding. Ia sadar, Kedhung Singkal belum selesai dengan mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI