OLEH: Khoeri Abdul Muid
Istana Malaka bagai tertahan napasnya. Hang Jebat berdiri di hadapan singgasana, bukan sebagai perusuh, tetapi sebagai monument protes. Darah di kerisnya adalah darah para koruptor, dan kata-katanya adalah tuduhan yang menggantung di udara.
"Diam! Semuanya diam!" teriaknya, suaranya lantang dan jelas. "Aku tidak ingin tahta ini! Aku ingin keadilan! Aku ingin istana ini membersihkan dirinya dari para pencoli kekuasaan!"
Para pengawal ragu-ragu. Beberapa bangsawan bahkan, diam-diam, memandangnya dengan rasa hormat yang terpaksa.
Sultan Mansur Syah, bagaimanapun, hanya melihat pengkhianatan terhadap otoritasnya.
"Laksamana Hang Tuah!" pekiknya, wajahnya merah padam. "Apa yang kau tunggu? Bunuh pemberontak yang tidak tahu diri itu! Inilah bukti terakhir kesetiaanmu!"
Perintah itu memecah kesunyian. Hang Tuah berjalan maju. Langkahnya berat. Dia tidak mengambil kerisnya dari barak. Dia menghadap Hang Jebat dengan tangan kosong.
"Jebat. Turunlah," ucap Hang Tuah, suaranya rendah namun tegas. "Ini bukan caranya."
"Ini satu-satunya cara yang mereka mengerti, Tuah!" jawab Hang Jebat, matanya berapi-api tetapi jernih. "Mereka tidak mendengar diplomasi Kesturi. Mereka hanya mendengar kekuatan. Aku telah menunjukkan pada mereka kekuatan yang seharusnya digunakan untuk kebenaran!"
"Kau telah membunuh tanpa pengadilan."
"Dan mereka telah menghancurkan hidupmu tanpa bukti! Mana yang lebih keji?" sanggah Jebat. "Mereka adalah penyakit, Tuah. Dan penyakit harus dibakar."
"Dan kau pikir dengan menjadi hakim sendiri, kau lebih suci dari mereka?" tanya Hang Tuah, menusuk tepat ke titik lemahnya.
Percakapan mereka adalah duel ideologi yang sengit, disaksikan oleh seluruh istana.