Tiga tahun berlalu. Medhang Kamulan kini gemah ripah loh jinawi---sawah menghijau, pasar riuh, rakyat hidup dalam suka cita. Namun di dalam hati Aji Saka, ada resah yang tak kunjung sirna: ia teringat janji pada Dora dan Sembada yang masih menunggu di Pulau Majeti.
Suatu malam, ia duduk termenung di pendapa keraton. Bulan purnama menggantung, cahayanya seakan membawa pesan dari samudra.
"Pusaka Rukmakala..." bisiknya lirih.
Ia pun memanggil Dora.
"Temuilah Sembada di Pulau Majeti. Ambil pusaka yang kutitipkan. Ingat, itu titahku."
Dora berangkat dengan hati berdebar. Ombak memukul perahu kecilnya hingga terombang-ambing, seolah mengingatkan pada janji lama yang belum dituntaskan.
Sesampainya di pulau, ia mendapati Sembada masih tegak menjaga pusaka.
"Aku datang membawa titah Aji Saka," kata Dora mantap.
"Aku pun mendapat titah yang sama," jawab Sembada dengan suara keras, "jangan serahkan pusaka ini, kecuali Aji Saka sendiri yang datang!"
Kata-kata berubah menjadi amarah. Amarah menjelma senjata. Dua abdi setia itu, yang dahulu berjalan seiring, kini berhadapan bagaikan api dan bara.
Pertarungan pun pecah. Kesaktian yang diwariskan Aji Saka membuat keduanya sama kuat. Pedang beradu, pasir berhamburan, darah menodai pantai sunyi. Mereka bertarung berhari-hari tanpa ada yang mengalah, hingga akhirnya, tubuh Dora dan Sembada roboh bersamaan, tergeletak di samping pusaka yang mereka jaga.
Ombak mendadak bergulung tinggi, langit mendung menghitam. Suara gemuruh seperti tangisan bumi terdengar, seolah alam meratap atas kematian dua ksatria setia.