Prabu Anglingdarma melangkah tanpa arah, bayangan wajah Ambarawati masih membebani hatinya. Setiap desir angin serasa membawa kembali isak tangis permaisurinya. Pertemuan dengan Patih Batik Madrim pun bukan lagi penghibur, melainkan pengingat akan kehidupan yang ia tinggalkan.
Ketika kabar sayembara Putri Trusilawati sampai ke telinganya, Anglingdarma menunduk.
"Aku bukan tabib yang pantas mengobati siapapun, Patih. Luka di hati istriku saja tak bisa kusembuhkan."
"Justru itu, Paduka," jawab Batik Madrim, nadanya tegas. "Kadang menolong orang lain adalah jalan untuk menemukan penebusan."
Dengan ragu, Anglingdarma menyamar sebagai Resi Darma. Ia menghadapi Putri Trusilawati, yang diam membisu di singgasananya. Mata sang putri jernih, tapi kosong, seakan suaranya terkunci oleh masa lalu.
Anglingdarma tidak merapal mantra. Ia hanya menunduk, memandang benda kecil yang tergenggam rapuh di tangan putri itu---sebuah boneka kayu usang, hadiah terakhir almarhum ibunya. Kehilangan itu, pikirnya, adalah luka yang membungkam, bukan penyakit ragawi. Dengan lembut, ia berkata,
"Suara paduka bukan hilang, melainkan bersembunyi bersama kenangan yang pedih. Jika kenangan itu diterima, suara akan kembali."
Tetes air mata jatuh, dan perlahan suara yang lama terkubur pun kembali mengalun. Putri Trusilawati bicara lagi, seolah tembok bisu di hatinya runtuh.
Namun, ketika Adipati menagih janji pernikahan, Anglingdarma tercekat. Bayangan Ambarawati muncul kembali, bagai bayang-bayang rembulan di permukaan telaga.
"Yang Mulia," katanya, suaranya gemetar, "aku bukan Resi Darma. Aku Anglingdarma dari Malawapati. Aku tak bisa menikahi Putri Trusilawati, sebab di keraton jauh sana, seorang istri setia sedang menungguku dalam keadaan mengandung. Jika aku menerima, itu bukan kehormatan, melainkan pengkhianatan lain."
Seisi pendapa terdiam, napas para hadirin seolah tertahan. Dari balik tirai, Putri Trusilawati keluar. Senyumnya lembut, matanya teduh namun tegas.
"Prabu," ucapnya, "kau telah menyembuhkanku dua kali: dari kebisuan, dan dari perjodohan yang dipaksakan. Aku tak ingin dinikahkan sebagai hadiah. Aku ingin memilih sendiri. Biarlah aku membalas budimu, bukan sebagai istri, melainkan sebagai sekutu."
Anglingdarma menunduk, lega sekaligus kagum. Dalam hatinya, ia tahu bahwa kekuatan putri itu bukan hanya pada suaranya, tetapi pada keberaniannya memilih jalan sendiri. Mereka pun berpisah dengan hormat, membawa janji persaudaraan, bukan ikatan perkawinan.
[bersambung]