Â
Al Elena Habibina, seorang arkeolog muda, duduk termenung di depan meja laboratorium. Ribuan pecahan tembikar berserakan, bagai teka-teki tanpa jawaban. Tangannya gemetar saat mencoba menyusunnya. Semua terasa sia-sia---pecahan itu hanya tumpukan fakta yang bisu, tak mampu bercerita.
Sore itu, ia menghubungi mentornya, Profesor Liam Mung Siji. Suaranya lirih, nyaris putus asa.
"Profesor... saya punya banyak data, tapi tidak ada makna. Pecahan ini hanya debu masa lalu. Bagaimana saya bisa tahu siapa mereka, bagaimana mereka hidup?"
Di seberang, Profesor Liam terdiam sejenak, lalu berkata lembut:
"Elena, fakta itu seperti potongan ayat yang tercerai-berai. Untuk membacanya, kita butuh bahasa. Salah satunya matematika, dan pasangannya, statistika. Keduanya adalah anugerah Allah agar kita bisa memahami ciptaan-Nya."
Elena terdiam, menunggu penjelasan.
"Matematika memberimu ketepatan. Ukur rasio panjang-lebar pecahan, lihat kelengkungannya. Jangan sekadar bilang 'besar' atau 'kecil'. Dengan angka, engkau akan melihat keteraturan yang tersembunyi," jelas Profesor.
Ia menambahkan, "Statistika akan membantumu melihat pola dari data yang tak lengkap. Kita tidak mungkin menemukan semua pecahan, tapi dari sebagian, kita bisa menyimpulkan keseluruhan. Begitulah cara manusia merenungkan sebagian ciptaan untuk memahami kebesaran Sang Pencipta."
Kata-kata itu menyalakan cahaya dalam hati Elena. Ia kembali ke laboratorium, kali ini dengan semangat baru. Dengan teliti ia mengukur setiap pecahan, mencatat angka-angka seolah sedang berzikir. Ternyata, potongan yang semula tak berhubungan memiliki kelengkungan yang sama. Pola itu seolah bisikan halus dari masa lalu.
Namun ia tak langsung berhasil. Beberapa kali kesimpulan awalnya salah---pecahan yang ia kira satu kelompok ternyata berbeda. Ia hampir kembali putus asa, tetapi ia mengingat pesan Profesor: "Ilmu itu proses, bukan hasil seketika."
Dengan sabar, ia mencoba lagi. Ia menghitung frekuensi pola ukiran, lalu menggunakan statistika untuk menarik kesimpulan. Hasilnya mengejutkan: sebagian besar tembikar ternyata memiliki motif geometris tertentu, tanda kesamaan selera dalam budaya mereka. Dari jenis tanahnya, ia juga menemukan bahwa tembikar tertentu lebih banyak ditemukan di pemukiman, sedangkan yang lain di area pemakaman.
Lama-kelamaan, sebuah kisah muncul. Pecahan-pecahan itu tak lagi bisu. Mereka berbicara tentang perdagangan, tradisi, dan kepercayaan kuno. Elena menyadari bahwa di balik angka-angka, ada kehidupan yang pernah berdenyut.