Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya dari Cordoba

30 Agustus 2025   20:58 Diperbarui: 30 Agustus 2025   20:29 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi yang dingin menusuk tulang di Paris, namun di dalam sebuah biara tua, kehangatan perapian tak mampu menghilangkan kegelisahan seorang biarawan muda bernama Armand. Di mejanya, tergeletak dua buah buku. Satu adalah kitab suci yang penuh dengan kebenaran ilahi, dan yang lainnya adalah salinan tulisan-tulisan kuno dari Aristoteles, yang penuh dengan logika dan penalaran.

Armand merasa ada jurang yang menganga di antara keduanya. Kitab suci mengajarkan bahwa iman adalah kunci menuju pengetahuan, sedangkan tulisan Aristoteles mengatakan bahwa akal adalah alat untuk menemukan kebenaran. Bagaimana bisa dua hal yang tampak bertentangan sama-sama mengarah pada kebenaran?

Keraguan itu menghantuinya. Apakah ia harus mengabaikan akal demi iman? Atau sebaliknya? Ia berdoa setiap malam meminta petunjuk, namun hatinya tetap gelisah.

Suatu hari, seorang musafir dari Spanyol, Brother Julian, datang mengunjungi biara mereka. Ia baru saja kembali dari Cordoba, pusat peradaban Islam di Andalusia.

Armand memberanikan diri mendekati Brother Julian. "Saudaraku, saya bingung. Bagaimana mungkin filsafat Yunani bisa berdampingan dengan agama kita? Apakah akal tidak akan merusak iman?"

Julian tersenyum. "Armand, di Cordoba, saya melihat sesuatu yang menakjubkan. Para cendekiawan Muslim, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, tidak melihat akal sebagai musuh. Mereka justru menganggapnya sebagai karunia dari Tuhan. Mereka percaya bahwa akal adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan kebenaran ilahi."

Julian menjelaskan lebih lanjut, "Mereka mengatakan, Kitab Suci adalah kebenaran yang diturunkan, sedangkan akal adalah alat yang diberikan Tuhan untuk memahami kebenaran itu. Seperti dua sisi dari satu koin. Seseorang tidak bisa memahami keagungan penciptaan jika ia tidak menggunakan akalnya untuk mengamati keajaiban alam."

Kata-kata Brother Julian bagai cahaya yang menembus kabut di pikiran Armand. Ia mulai melihat tulisan Aristoteles dengan cara yang berbeda. Ia tidak lagi melihatnya sebagai ancaman, melainkan sebagai alat. Ia mulai menggunakan logika dan penalaran untuk memahami konsep-konsep keagamaan yang rumit. Ia menyimpulkan bahwa akal tidak merusak iman, justru sebaliknya, akal dapat menguatkan iman.

Armand kembali ke meja kerjanya. Kini, ia tidak lagi merasa terbelah. Ia memandang kedua buku itu---kitab suci dan tulisan filsafat---sebagai teman, bukan musuh. Ia menyadari bahwa di Abad Pertengahan, pengetahuan bukanlah sebuah persaingan, melainkan sebuah sinergi. Akal memperkuat iman, dan iman membimbing akal. Di bawah bayang-bayang katedral, di dalam pikiran seorang biarawan muda, filsafat dan agama menemukan kedamaian yang harmonis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun