Mentari siang terik membakar punggung. Di sebuah kebun yang rimbun, Sardi, seorang pria bertubuh kekar, dengan angkuh melemparkan cangkulnya. Di hadapannya, Kakek Karto, tukang kebun tua yang ringkih, sedang berjongkok memangkas ranting.
"Kakek, hati-hati! Jangan merusak tanaman milik Tuan," bentak Sardi dengan suara keras.
Kakek Karto menoleh, wajahnya yang keriput tersenyum. "Maaf, Nak. Ranting ini sudah kering, harus dipotong agar yang lain bisa tumbuh."
"Alasan saja!" Sardi meludah ke tanah. "Saya ini mandor di sini. Saya yang berkuasa. Kalau sampai ada tanaman yang layu, Kakek yang saya pecat!"
Seorang pemuda bernama Riko, yang sedang membantu memindahkan pot bunga, mendekat. "Bang Sardi, tidak baik bicara begitu. Kakek Karto sudah bertahun-tahun merawat kebun ini."
Sardi tertawa merendahkan. "Heh, Riko! Kamu masih bau kencur. Kakek ini sudah tua, tenaganya saja tidak ada. Lihat saya, saya bisa angkat karung pupuk 100 kilo. Dia? Angkat cangkul saja sudah gemetaran."
"Tapi Bang..." Riko hendak membela.
Sardi memotongnya, "Hidup ini tentang siapa yang kuat, siapa yang di atas. Burung memangsa semut. Itu hukum alam! Begitu juga di kebun ini, saya yang burung, Kakek Karto yang semutnya."
Kakek Karto bangkit dari jongkoknya, menepuk-nepuk celananya yang kotor. Matanya yang teduh menatap Sardi lekat-lekat. "Nak Sardi, pernahkah kau berpikir, setelah burung itu mati, siapa yang akan memangsanya?"
Sardi mengerutkan kening, bingung.
"Semut," jawab Kakek Karto dengan tenang. "Burung yang semasa hidupnya perkasa, setelah mati, akan dimangsa oleh semut-semut kecil. Segala sesuatu bisa berubah, Nak."