Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayanganku Sebagai Pemimpin

26 September 2024   17:22 Diperbarui: 26 September 2024   17:28 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
attarsandhismind.wordpress.com 

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Langit senja tampak berwarna merah darah, seolah mencerminkan kekacauan di dalam benak Arya. Di depan balkon istananya, ia berdiri terpaku, memandangi kerumunan di bawah. Warga desa berteriak-teriak, membawa spanduk dan obor, menuntut keadilan. Mereka letih, mereka marah, dan yang paling penting, mereka merasa dikhianati.

"Aku bukan seperti mereka," Arya bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun. Bayangannya memantul samar di lantai marmer yang dingin.

"Yang Mulia, rakyat semakin gelisah. Apa yang harus kita lakukan?" Tanya Senapati Utama, Ki Surya, yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

Arya menoleh perlahan, wajahnya keras. "Apa yang harus kita lakukan?" Arya mengulang pertanyaan itu, suaranya bergema dalam kekosongan malam. "Apa kita harus melakukan seperti yang dilakukan pemimpin-pemimpin sebelumku? Memberi janji kosong lalu bersembunyi di balik dinding emas saat mereka menderita?"

Ki Surya mengernyit, tak berani menjawab.

Arya kembali menatap rakyatnya. Kilasan-kilasan janji masa lalu berkelebat dalam pikirannya---janji yang pernah ia lontarkan ketika ia belum menjadi raja. Ia dulu bertekad akan berbeda. "Jika aku menjadi pemimpin," Arya berkata, "Aku tak akan menjadi tukang bermimpi. Aku tak akan berbicara besar hanya untuk menjual kesombongan. Hati, ucapan, dan perbuatanku harus menyatu."

Tapi sekarang, saat ia berada di atas takhta, kenyataan tak seindah impian. Kekuasaan membuat janji-janji itu tampak jauh dan tak tersentuh. Ia terjebak dalam labirin politik dan ambisi.

"Yang Mulia, rakyat menuntut makanan. Panen gagal, dan bantuan belum datang. Mereka akan segera menyerang istana jika kita tidak bertindak," desak Ki Surya dengan nada putus asa.

Arya terdiam, hatinya tercabik. Di dalam dirinya, pergulatan batin terasa menyakitkan. Ia ingat kata-katanya sendiri, "Jika aku seorang pemimpin, saat ada penderitaan, aku akan segera bertindak. Bukan menunggu. Bukan membiarkan."

Arya mengambil napas panjang. "Panggil semua pejabat istana. Kita akan turun ke lapangan. Aku sendiri yang akan memimpin."

Ki Surya terkejut. "Tapi, Yang Mulia, itu berbahaya! Mereka marah, mereka bisa---"

Arya memotong, "Jika aku hanya duduk di sini, tanpa bukti, aku hanyalah penipu. Bukankah begitu? Jika terlalu lama, mereka akan memberontak. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi."

Tak lama kemudian, Arya turun dari istana. Langkahnya mantap, meski batinnya berkecamuk. Ia berjalan ke arah kerumunan, dan seketika mereka hening. Sorot mata mereka penuh amarah, tapi ada sesuatu dalam kehadiran Arya yang memaksa mereka untuk diam.

"Rakyatku!" teriak Arya dengan suara yang menggelegar. "Aku berdiri di sini bukan sebagai seorang raja yang bersembunyi di balik dinding istana. Aku di sini, berdiri bersama kalian. Panen gagal, dan bantuan terlambat. Itu salahku."

Orang-orang terkejut, tak percaya. Seorang raja yang mengakui kesalahan?

"Aku tahu kalian marah. Aku juga marah pada diriku sendiri. Tapi ini bukan waktunya saling menyalahkan. Ini waktunya kita bekerja sama." Arya berhenti sejenak, matanya menyapu seluruh kerumunan. "Aku janji, makanan akan datang. Dan jika kalian harus berbagi, aku akan menjadi yang terakhir yang makan. Karena negara ini milik kalian, bukan milikku."

Seorang pria tua dari kerumunan maju, suaranya serak dan penuh emosi. "Bagaimana kami bisa percaya padamu, Yang Mulia? Kami sudah terlalu sering dibohongi."

Arya mengangguk, paham akan kekecewaan mereka. "Jika aku tidak menepati janji, kalian bebas untuk menggulingkanku. Aku tidak akan melawan. Tapi beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bukan pemimpin yang kalian benci."

Keheningan mencekam. Perlahan, kerumunan mulai membubarkan diri, meski dengan wajah penuh keraguan. Malam itu, Arya kembali ke istana, dengan beban yang lebih berat dari sebelumnya.

Seminggu kemudian, bantuan datang. Arya bekerja siang dan malam, mengatur distribusi makanan, memastikan bahwa rakyat kecil yang paling merasakan manfaatnya. Ia memimpin dari garis depan, memikul karung beras bersama rakyat, menanam benih harapan di hati mereka.

Pada akhirnya, rakyat kembali percaya padanya. Bukan karena janji-janji manis, tapi karena ia menunjukkan bahwa hatinya, ucapannya, dan perbuatannya benar-benar menyatu.

Di satu malam yang sunyi, Arya kembali ke balkon istananya, menatap ke langit yang sekarang cerah. Ia tersenyum tipis, bukan karena kemenangan, tetapi karena ia tahu, jalan menuju pemimpin sejati baru saja dimulai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun