OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit senja tampak berwarna merah darah, seolah mencerminkan kekacauan di dalam benak Arya. Di depan balkon istananya, ia berdiri terpaku, memandangi kerumunan di bawah. Warga desa berteriak-teriak, membawa spanduk dan obor, menuntut keadilan. Mereka letih, mereka marah, dan yang paling penting, mereka merasa dikhianati.
"Aku bukan seperti mereka," Arya bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun. Bayangannya memantul samar di lantai marmer yang dingin.
"Yang Mulia, rakyat semakin gelisah. Apa yang harus kita lakukan?" Tanya Senapati Utama, Ki Surya, yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
Arya menoleh perlahan, wajahnya keras. "Apa yang harus kita lakukan?" Arya mengulang pertanyaan itu, suaranya bergema dalam kekosongan malam. "Apa kita harus melakukan seperti yang dilakukan pemimpin-pemimpin sebelumku? Memberi janji kosong lalu bersembunyi di balik dinding emas saat mereka menderita?"
Ki Surya mengernyit, tak berani menjawab.
Arya kembali menatap rakyatnya. Kilasan-kilasan janji masa lalu berkelebat dalam pikirannya---janji yang pernah ia lontarkan ketika ia belum menjadi raja. Ia dulu bertekad akan berbeda. "Jika aku menjadi pemimpin," Arya berkata, "Aku tak akan menjadi tukang bermimpi. Aku tak akan berbicara besar hanya untuk menjual kesombongan. Hati, ucapan, dan perbuatanku harus menyatu."
Tapi sekarang, saat ia berada di atas takhta, kenyataan tak seindah impian. Kekuasaan membuat janji-janji itu tampak jauh dan tak tersentuh. Ia terjebak dalam labirin politik dan ambisi.
"Yang Mulia, rakyat menuntut makanan. Panen gagal, dan bantuan belum datang. Mereka akan segera menyerang istana jika kita tidak bertindak," desak Ki Surya dengan nada putus asa.
Arya terdiam, hatinya tercabik. Di dalam dirinya, pergulatan batin terasa menyakitkan. Ia ingat kata-katanya sendiri, "Jika aku seorang pemimpin, saat ada penderitaan, aku akan segera bertindak. Bukan menunggu. Bukan membiarkan."