Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuryokalangan dalam Legenda dan Sejarah

16 November 2024   21:16 Diperbarui: 16 November 2024   21:24 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(masjidkuryo, dokumen pribadi khoeri abdul muid)

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Tiguna alias Bekel Tiguna alias Ki Tiguna alias Triguna alias Mbah Sirna adalah anak Ki Guna Reksaka. Ki Guna Reksaka merupakan seorang prajurit pelatih kuda (Abdi Panegar) Pajang, ---orang kepercayaan dan masih kerabat Ki Penjawi.

Pada masa Pragola I (Wasis Jayakusuma)Tiguna merupakan pimpinan prajurit berkuda (Bekel Kusumatali) di Kadipaten Pati. Ikut dalam kancah perang Pati-Mataram I (1600M).

Pada era Pragola II (Jayakusuma) pangkatnya naik. Disamping sebagai Bekel Kusumatali ia diangkat juga sebagai pengawal raja (Narpa Cundhaka).

Pada akhir 1600M, pada awal Jayakusuma naik tahta, Tiguna dianugerahi 'bumi lungguh' (daerah kekuasaan terbatas) berupa Alas Bokong Semar. Letaknya di selatan Bengawan Silugonggo. Diapit oleh sungai Jethis dan Guder.

Pada akhir tahun 1600M pembukaan (babad) alas Bokong Semar dimulai. Tiguna dibantu oleh kakak dan adik seperguruannya di Rahtawu Muria. Yakni Ki Mundri dari Pasuruan dan Anggajaya alias Nggajaya alias Si Nggajaya alias Singojoyo, si mantan preman Bate Alit.

Pada tahun 1601M pembukaan alas Bokong Semar mencapai sepertiga bagian di selatan yang kemudian oleh Tiguna dijadikan (didirikan) desa: desa Kuryo.

Sementara itu, dua pertiga selebihnya di utara diberikan kepada Anggajaya yang pada tahun 1602M dijadikan desa: desa Kalangan.  

Tiguna memimpin desa Kuryo dengan pangkat Ki Gedhe Kuryo. Sementara pangkat Bekel Kusumatali dan Narpa Cundhaka-nya diserahkan kembali kepada Adipati Jayakusuma.

Anggajaya pun demikian, berpangkat Ki Gedhe Kalangan.

Pada tahun 1627 Ki Tiguna wafat. Dan, tampuk pemerintahan Desa Kuryo digantikan oleh anaknya, yakni Tiguna II dan selanjutnya berestafet ke keturunannya, yaitu Tiguna III hingga tahun 1722M.

Sejak 1722-1810M kepemimpinan desa Kuryo dipangku oleh Petinggi Kasat, kemudian tahun 1810-1843M Petinggi Kalidin, tahun 1843-1902M Petinggi Kasman. Dan, pada tahun 1902M, oleh Petinggi Krama Rajiman.

Sementara itu Desa Kalangan dipimpin oleh Ki Anggajaya. Dan, terakhir hingga pada tahun 1902M dijabat oleh Petinggi Sondo.

Desa Kuryokalangan Sebagai Desa

Pada tahun 1902M Sondo, Petinggi Kalangan wafat. Tapi oleh Wedana Gabus ---pada saat itu Gabus berkedudukan sebagai kawedanan--- kekosongan jabatan petinggi Kalangan tidak diisi. Tapi justru pada tahun 1902M itu pula Wedana Gabus malah memensiunkan dini Petinggi Desa Kuryo, Krama Rajiman yang praktis baru 100 hari menjabat.

Wedana Gabus berkehendak menggabungkan (memarger) desa Kuryo dan desa Kalangan, menjadi desa Kuryokalangan. Sementara itu desa Kuryo dan desa Kalangan turun status menjadi dukuh Kuryo dan dukuh Kalangan.  

Pada tahun 1902M itu pula diselenggarakan pemilihan petinggi untuk desa 'baru', desa Kuryokalangan. Calonnya ada tiga. Yakni pertama, Kadiman yang merupakan paman mantan Petinggi Kuryo, Krama Rajiman. Kedua, Kiso dari Kalangan. Dan, Kurdi, adik Kiso.

Pemilihannya dilakukan dengan teknik 'buntutan', yaitu memilih dengan cara baris di belakang calon yang didukung. Sementara itu pemilih atau yang punya hak memilih (hak pilih aktif) adalah kepala keluarga yang punya bakon (sawah hak milik).

Pada awalnya Kadiman menang. Tetapi melihat keadaan itu Kurdi kemudian mengundurkan diri. Sehingga para pemilihnya bubar pindah pilihan. Dan, Kiso, kakaknya pun berbalik unggul. Maka tercatatlah petinggi pertama desa Kuryokalangan ialah Petinggi Kiso.

Pada tahun 1936 Petinggi Kiso wafat. Kemudian diadakan calonan petinggi yang hanya diikuti oleh 2 kandidat, yakni Dero dan Sadiyo, adik almarhum Petinggi Kiso. Dimenangkan oleh Sadiyo.

Pada tahun 1943 Petinggi Sadiyo wafat. Pada tahun 1943M itu pula diadakan calonan petinggi yang diikuti oleh 5 calon. Yakn:i satu, Dero yang pada pemilu periode lalu kalah. Dua, Kahar. Tiga, Karsono bin Makruf.  Empat, Guru Darnawi. Lima, Mulyadi (yang belakangan menjadi 'ntolorong' menjadi Petinggi di Mojolawaran).

Proses pemilihan pada saat itu sudah menggunakan media 'biting' yang dimasukkan ke dalam bumbung. Dan, kali itu dimenangkan oleh Dero.

Pada awal tahun 1945M, Petinggi Dero yang praktis baru menjabat 2 tahun diberhentikan oleh pemerintahan kolonial Jepang melalui program 'siapan'-nya. 'Siapan' yaitu pemberhentian bersama-sama seluruh kepala desa di Jawa dan segera diadakan pemilihan baru.

Maka pada awal tahun 1945M diadakan pemilu desa lagi. Kahar dan eks petahana, Dero kembali ikut. Dan, pendatang baru, H. kambali dan Mangun dari Kuryo juga ikut meramaikan pemilihan. Hasilnya sungguh mendebarkan. Karena selisih pemenang kesatu dan kedua hanya satu biting! Yakni Dero mendapat 91. Dan, Mangun 90. Sementara Kahar dan H. Kambali masing-masing memperoleh sekitar 30-an. Dan, dengan demikian Petinggi Dero menjabat kembali.

Pada tahun 1972M Petinggi Dero lengser dan digantikan oleh Petinggi Subandi yang merupakan petinggi Desa Kuryokalangan yang pertama-tama kalinya berasal dukuh Kuryo.

Selanjutnya 1988M Petinggi Subandi digantikan Petinggi Suhud. Pada 1993M berlanjut ke Petinggi Muhamadun. Dan, berikutnya Petinggi Sutrimo serta kini Petinggi Didik Hermanto.

Demikianlah. Kuryokalangan dalam lintasan sejarah merupakan catatan kecil sejarah demokrasi di Indonesia yang relative menarik.

Mula-mula ia mengalami suasana monarki. Kemudian tertatih-tertatih belajar dengan cara berpraktik langsung soal sistem politik 'baru', aplikasi demokrasi.

Pemilu desa sebagai aplikasi demokrasi yang sering dikenal juga dengan istilah 'calonan petinggen' itu dilaksanakan dengan pendekatan kontekstual, yaitu sesuai dengan keadaan dan suasana yang ada.

Awalnya  dengan teknik 'buntutan', kemudian berkembang dengan alat bantu 'biting' dan sebagaimana sekarang, bermedia kertas. Mungkin besok bersistem elektrik.  

Dalam konteks demokrasi itu ada juga fenomena menarik di lintasan sejarah Kuryokalangan. Yakni adanya fenomena pemekaran wilayah (alas bokong semar dibagi dua, Kuryo dan Kalangan) dan sekaligus fenomena penggabungan wilayah (Kuryo dan kalangan), ---di mana hal itu lazim (trend) terjadi pada era sekarang, demi efisiensi dan efektifitas pembangunan.

Hak pilih dalam pemilu juga tampak mengalami perkembangan menarik. Hak pilih aktif (memilih) mengalami perkembangan cukup mencolok. Karena semula hanya dimiliki oleh kepala keluarga yang ber-'bakon' (bersawah hak milik) saja hingga sekarang berubah menjadi 'one man one vote'. Hak pilih pasif-pun juga mengalami variasi yang unik, dimana seseorang yang bukan penduduk setempat bisa saja menjadi kandidat dalam pemilu dengan (memiliki hak dipilih) catatan tidak memiliki hak memilih. Fenomena ini disebut dengan istilah 'ntlorong'.

Pendek kata, banyak hikmah yang bisa dipetik dari legenda dan sejarah Kuryokalangan.

Terimakasih.Salam! #

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun