Adipati Jayakusuma, Raja Kerajaan Pati, tengah duduk santaimenikmati keindahan taman kerajaan yang bersemilir aroma beraneka bunga .
Tiba-tiba datang Retna Dumilah, puteri boyongan (pampasanperang) Madiun, anak Panembahan Emas Rangga Jumena.
Dengan bersimbah air mata, Retna Dumilah menyampaikanpenyesalannya karena dulu telah bersedia menjadi istri Pengeran Senapati.
Retna Dumilah memohon agar Adipati Jayakusuma mau menerimapenyerahan jiwa raganya.
“Sungguh, Kanjeng Adipati… Hamba ini telah berlaku keterlaluan.Telah mendholimi, Kanjeng Adipati… Ketika, dulu, Kanjeng Adipati dan PanembahanSenapati sedang berselisih paham soal siapa yang paling berhak menerima pampasan perang putri boyongan, ya hamba ini… Dan, ketika itu deadlock, tidak adayang mau mengalah. Sehingga, Kanjeng ingat kan, akhirnya keputusannyadiserahkan kepada hamba. Dan, ketika hamba ditanya oleh Panembahan Senapatimengenai kesediaan menjadi istrinya, hamba jawab iya… Padahal?...Sekarang hamba baru tahu, Kanjeng Adipati Jayakusumalah yang paling berhak ataspampas an perang itu. Dan, sungguh, hamba melihat betapa KanjengAdipati Jayakusuma adalah orang yang berakhlakul karimah… Karenanya terimalah penghambaan hamba, sekalipun hamba dijadikan “juru perut” (koki masak), atauapapun, Kanjeng...”.
Menghayati apa yang disampaikan Retna Dumilah, AdipatiJayakusuma merasa iba. Ada kejujuran yang terpancar dari Retna Dumilah.Sehingga Retna Dumilah-pun diterima sebagai selirnya. Selanjutnya mereka memadu cinta dengan asyiknya.
Namun, mak bedunduk! Kemesraan itu dibuyarkanoleh terjangan Panembahan Senapati yang tiba-tiba namun sigap dapat di tangkisoleh Adipati Jayakusuma.
“Hai, maling kau, Jayakusuma! Kembalikan istriku! Dan, kau,Retna Dumilah! Sejak kapan kau belajar selingkuh?!”, Bentak Panembahan Senapatidengan gaya kesewenang-wenangannya.
Keadaan ini, bagi Adipati Jayakusuma, justru menjadi momen yangbagai pucuk dicinta ulam tiba. Karena pada kesempatan ini bisa menuntutkeadilan. Bisa melampiaskan kejengkelannya terhadap sikap mau menang sendiriPanembahan Senapati.
“Jangan begitu, Kang Mas Senapati… Kalau Kang Mas masih mau sayahormati, bersikaplah bijak”.
“Jayakusuma! Jangan sok bicara soal bijak! La wong sudahjelas-jelas kamu merebut istri orang koq masih belagu ngomong soal kebijakan!Nggak malu, apa, kamu! Retna Dumilah adalah istri syahku!”.
“Syah, Kang Mas Senapati…? Istri syah? Bukannya, terbalik, KangMas? Maaf, buka kembali kitab-kitab hukum, Kang Mas...!.
“Hukum?! Apa maksudmu, Suma?, Belalak Panembahan Senapatisembari menjawab dan menyebut Adipati Jayakusuma sekenanya.
“Secara hukum, Pati dan Mataram adalah sederajad. Yang terlahirdari rahim Kerajaan Pajang. Tapi perlakuan Kakang pada saya, pada Pati, sepertihalnya bawahan Kakang, bawahan Mataram!.. Pati membantu Mataram menyerangMadiun adalah karena Pati dan Mataram, sekutu. Saya dan Kang Mas ialah saudara.Dan, hukum perang mengatakan, “Bedhah praja mboyong putri” (pampasan perangadalah hak subyek pemenang perang). Retna dumilah adalah hak konstitusionalsaya, Kang Mas…”.
“Tidak bisa! Dia istri syahku!”.
“Kalau begitu, Kakang sudah tidak bisa dihormati lagi. Akutidak mau “gupak pulute ora mangan nangkane” (kotor karena getahnya tetapitidak dapat nangkanya). Retna Dumilah tidak bisa kau ambil lagi. Diatelah pilih aku. Karena ia memang hakku, Senapati!”.
Konflik debat yang memuncak tersebutpun meletuskan adukadigjayan (kekuatan) antara keduanya.
“Ciat!....”. Adipati Jayakusuma berhasil menghunjamkan kerisnyake ulu hati Panembahan Senapati sehingga mati.
AdipatiJayakusuma teriak kegirangan, “Akuuuu menaaang!....”.
“Kang Mas Adipati… Kang Mas Adipati….”, Panggil-panggil kerasRaden Ayu Retnawati, permaisuri Adipati Jayakusuma buru-buru mengoyang-goyangmengguncang-guncang membangunkan Adipati Jayakusuma yang rupanya sedang mengigau.
BERSAMBUNG.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI