“Syah, Kang Mas Senapati…? Istri syah? Bukannya, terbalik, KangMas? Maaf, buka kembali kitab-kitab hukum, Kang Mas...!.
“Hukum?! Apa maksudmu, Suma?, Belalak Panembahan Senapatisembari menjawab dan menyebut Adipati Jayakusuma sekenanya.
“Secara hukum, Pati dan Mataram adalah sederajad. Yang terlahirdari rahim Kerajaan Pajang. Tapi perlakuan Kakang pada saya, pada Pati, sepertihalnya bawahan Kakang, bawahan Mataram!.. Pati membantu Mataram menyerangMadiun adalah karena Pati dan Mataram, sekutu. Saya dan Kang Mas ialah saudara.Dan, hukum perang mengatakan, “Bedhah praja mboyong putri” (pampasan perangadalah hak subyek pemenang perang). Retna dumilah adalah hak konstitusionalsaya, Kang Mas…”.
“Tidak bisa! Dia istri syahku!”.
“Kalau begitu, Kakang sudah tidak bisa dihormati lagi. Akutidak mau “gupak pulute ora mangan nangkane” (kotor karena getahnya tetapitidak dapat nangkanya). Retna Dumilah tidak bisa kau ambil lagi. Diatelah pilih aku. Karena ia memang hakku, Senapati!”.
Konflik debat yang memuncak tersebutpun meletuskan adukadigjayan (kekuatan) antara keduanya.
“Ciat!....”. Adipati Jayakusuma berhasil menghunjamkan kerisnyake ulu hati Panembahan Senapati sehingga mati.
AdipatiJayakusuma teriak kegirangan, “Akuuuu menaaang!....”.
“Kang Mas Adipati… Kang Mas Adipati….”, Panggil-panggil kerasRaden Ayu Retnawati, permaisuri Adipati Jayakusuma buru-buru mengoyang-goyangmengguncang-guncang membangunkan Adipati Jayakusuma yang rupanya sedang mengigau.
BERSAMBUNG.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI