Selama puluhan tahun, Belanda bersikukuh bahwa Indonesia merdeka bukan pada 17 Agustus 1945, melainkan 27 Desember 1949---tanggal penyerahan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Narasi ini bukan sekadar perbedaan tanggal. Ia menjadi luka simbolik, menyimpan ketegangan diplomatik, historis, dan moral antara Indonesia dan bekas penjajahnya.
Namun pada 14 Juni 2023, terjadi sebuah perubahan historis yang diam-diam besar. Untuk pertama kalinya, Pemerintah Belanda secara resmi mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Pernyataan itu keluar langsung dari Perdana Menteri Mark Rutte di parlemen Belanda, setelah hasil penelitian dekolonisasi besar-besaran oleh lembaga-lembaga ilmiah seperti NIOD, KITLV, dan NIMH.
Lantas, apa yang memicu perubahan sikap ini setelah 78 tahun penyangkalan?
Dekolonisasi Sejarah dan Politik Memori
Penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun oleh lembaga Belanda menyimpulkan bahwa kekerasan militer selama "politionele acties" (aksi polisionil) tahun 1945--1949 bersifat sistematis dan melanggar hukum internasional. Temuan ini merobohkan narasi bahwa Belanda sedang "menegakkan ketertiban" di tanah jajahannya. Sebaliknya, mereka mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia sudah berlangsung sejak 17 Agustus 1945, dan upaya militer setelahnya adalah bentuk penjajahan kembali (rekolonisasi).
Pernyataan Rutte pun menegaskan itu:
"Nederland erkent volledig en zonder voorbehoud dat Indonesi op 17 augustus 1945 onafhankelijk werd."
("Belanda mengakui secara penuh dan tanpa syarat bahwa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.")
Pernyataan ini bukan sekadar gestur politik, tetapi bagian dari revisi narasi sejarah di Belanda sendiri---yang selama ini dibentuk dari perspektif kolonial.
Dampaknya: Simbolik atau Substansial?
Pengakuan ini membawa konsekuensi besar, baik dalam aspek sejarah, pendidikan, hingga diplomasi. Namun, sebagian kalangan bertanya: apakah ini cukup? Apakah hanya pengakuan tanpa reparasi atau tanggung jawab lebih lanjut?