Mohon tunggu...
Khansa N
Khansa N Mohon Tunggu... Mahasiswa

Membaca, menulis, memotret, dan menonton film

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Menuju Generasi Emas, Sudahkah Terjamin Asupan Nutrisi Psikologis Anak Indonesia?

11 Juli 2025   02:04 Diperbarui: 11 Juli 2025   02:20 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

            Masyarakat dan pemerintah Indonesia seolah sedang berpacu dengan waktu dalam perjalanan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Bertarget menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas, Makan Bergizi Gratis atau yang akrab kita kenal MBG menjadi salah satu kiat pemerintah untuk menunjang itu. Demi membangun fondasi generasi mendatang yang sehat, cerdas, dan tangguh dengan gizi terpenuhi optimal dan juga terbebas dari stunting menjadi komitmen. Perlu kita apresiasi memang niat baik dan upaya ini meski ditempa banyak sekali kontroversi dan kabar prahara terkait keefektifannya

            Namun, di samping fokus pemenuhan gizi untuk nutrisi fisik, terdapat nutrisi lain yang seolah terlupakan, yakni "nutrisi psikologis". Padahal, hal tersebut tak kalah krusial untuk mewujudkan generasi yang sehat, cerdas, dan tangguh. Sehat tak hanya fisik, tetapi juga mental atau psikologis yang mesti diperhatikan pula untuk selanjutnya menjadi tangguh dan cerdas. Karena kondisi fisik yang prima perlu dibarengi dengan perkembangan psikologis dan performa emosional yang baik. Sebagaimana jika kita menilik dari ilmu perkembangan manusia yang menyebutkan bahwa aspek perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial menjadi hal yang sama utamanya, saling berkaitan dan memengaruhi, pun berdampak satu sama lain.

            Perkembangan psikologis anak sangat perlu untuk dipantau dan diberikan nutrisi atau stimulasi yang tepat sesuai dengan milestone atau tahapan pertumbuhannya. Di Indonesia, memang kita sudah punya Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) beserta Buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) yang di dalamya juga terdapat program berikut instrumen untuk pemantauan perkembangan. Begitupun poin terkait langkah-langkah stimulasi sesuai usia anak dipaparkan dalam buku KIA tersebut. Akan tetapi, pada praktik pelaksanaannya seringkali program di Posyandu ini lebih fokus pada pemantauan, edukasi, dan pemberian nutrisi tambahan untuk fisik seperti berat dan tinggi badan anak saja, atau paling banter pemberian imunisasi. Pemantauan dan edukasi bab stimulasi yang tepat dan mendalam untuk perkembangan psikologis anak nyatanya terlihat seperti belum menjadi hal yang merupakan fokus juga.

            Kader Posyandu seringkali mempunyai keterbatasan akan kapasitas dan waktu untuk memberikan edukasi atau bahkan konseling yang mendalam terkait perkembangan psikologis ini. Terkadang sebatas menanyakan "Anaknya udah bisa apa, Ibu?" saja tanpa penjelasan yang mendalam terkaitnya. Buku KIA pun cenderung hanya sebagai instrumen laporan saja, bukan panduan dan membuatnya menjadi sarana yang pasif. Buku tersebut yang seharusnya menjadi panduan aktif dan dipahami sepenuhnya untuk menstimulasi anak, realitanya hanya seolah catatan atau rekam medis yang diisi seadanya tiap kali pemeriksaan Posyandu. Hal ini kurang sejalan dengan apa yang dinyatakan World Health Organization (WHO) dalam situs Nurturing Care Framework, bahwa perkembangan anak usia dini yang optimal membutuhkan 5 komponen yang harus diperhatikan yakni, kesehatan, gizi, keamanan & keselamatan, pengasuhan yang responsif (responsive caregiving), dan kesempatan belajar.

            Salah satu gambaran akibat darinya, terlihat jelas di masyarakat kita bahwa masih banyak orang tua yang bingung dalam menanggapi tingkah anak, bingung saat menghadapi anak yang sedang tantrum, menyikapi anak susah makan atau GTM, dan tentu masih banyak lagi bukan? Kemudian orang tua memilih langkah yang kurang atau bahkan tidak tepat untuk menanganinya, yang bisa saja berpotensi kurang baik untuk psikologis si anak. Memarahi dengan keras, justru mendiamkan, atau bahkan mengambil jalan pintas dengan memberikan gadget atau smartphone misalkan. Banyak yang kurang paham akan urgensi bermain dan berbicara dengan anak sejak dini, padahal ini merupakan salah satu cara yang efektif dan dapat berdampak amat baik bagi perkembangannya.

            Para ahli perkembangan anak menyampaikan bahwa rasa aman, cinta, stimulasi yang tepat, dan responsivitas merupakan makanan bagi otak atau bisa kita sebut "nutrisi psikologis" bagi otak anak yang sedang berkembang pesat di 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK). Dalam beberapa pembahasan ilmiah pun banyak dibahas akan hal ini, dalam salah satu Jurnal Sari Pediatri—jurnal yang diterbitkan Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI) misalnya, penelitian yang telah dilakukan membuktikan secara ilmiah di konteks Indonesia bahwa stimulasi psikososial (bermain, berbicara, dll.) berhubungan langsung dengan skor perkembangan anak.

            Kita pun agaknya perlu melihat dan mengerti teori yang dipaparkan oleh ahli psikologi dan perkembangan. Katakanlah dua di antaranya, yakni seorang psikolog perkembangan ternama, Jean Piaget dan Psikolog terkenal dari Jerman, Erik Erikson. Piaget memetakan tahapan perkembangan kognitif anak, kita mungkin bisa lihat dua tahap awal yang cukup relevan:

Tahap Sensorimotor (0-2 tahun): Bayi belajar tentang dunia melalui indra (sensor) dan gerakan (motorik). Menggenggam mainan, memasukkan benda ke mulut, atau merespons suara adalah cara otaknya membentuk koneksi. Ketika orang tua hanya fokus pada "makan yang banyak" dan mengabaikan pentingnya tummy time, bermain cilukba, atau menyediakan mainan yang aman untuk dieksplorasi, mereka secara tidak langsung bisa menghambat latihan otak atau stimulasi yang paling dasar. Memberikan gadget pada usia ini ialah stimulasi pasif yang merusak, karena anak tidak akan belajar sebab-akibat dari interaksinya sendiri.

Tahap Pra-operasional (2-7 tahun): Anak mulai menggunakan bahasa dan simbol, tapi pemikirannya masih egosentris (sulit melihat dari sudut pandang orang lain) dan belum berpikir logis. Inilah masanya bermain peran, menggambar, dan mendengarkan cerita. Ketika orang tua tidak memahami tahapan ini, mereka akan frustrasi menghadapi anak yang "egois" atau tantrum. Orang tua mungkin menghukum anak karena tidak mau berbagi, padahal secara kognitif anak memang belum mampu memahami sepenuhnya. Edukasi yang tepat akan mengajarkan orang tua cara memvalidasi emosi anak sambil perlahan mengajarkan empati, bukan dengan paksaan.

            Di samping itu, Erik Erikson menekankan bahwa tiap tahapan kehidupan memiliki "krisis" psikososial yang harus diselesaikan untuk perkembangan yang sehat.

Tahap 1: Kepercayaan vs. Kecurigaan (Trust vs. Mistrust, 0-18 bulan): Pondasi utama kesehatan mental dibangun di sini. Bayi belajar mempercayai dunia jika kebutuhannya (lapar, popok basah, kenyamanan) dipenuhi secara konsisten dan penuh kasih. Misalnya adalah orang tua yang responsif itu adalah yang menggendong saat anak menangis, berbicara dengan lembut untuk membangun rasa aman yang nantinya ini dibawa seumur hidup. Sebaliknya, membiarkan bayi menangis terlalu lama dengan dalih "agar paru-parunya kuat" adalah miskonsepsi fatal yang bisa saja menanamkan benih kecurigaan dan rasa tidak aman anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun