Mohon tunggu...
Khanan Yusuf
Khanan Yusuf Mohon Tunggu... freelance writer

perpaduan antara bidadari, astronot dan film india, data dan empati, antara rapat dan rebahan, antara policy brief dan lontong ndekem dari Pemalang

Selanjutnya

Tutup

Roman

Sebuah pengakuan dalam sunyi

18 Juli 2025   15:00 Diperbarui: 18 Juli 2025   15:00 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kamu tahu, seringkali aku berdiri mematung bukan karena terpukau oleh kemegahan dunia, tapi karena mendadak sadar betapa absurdnya perasaan ini tiap kali aku melihatmu. Kamu ibarat alarm pagi yang tak pernah kupasang, tapi selalu berbunyi tanpa kompromi, mengingatkanku betapa ketergantunganku terhadapmu jauh lebih besar dari ketergantunganku pada kopi hitam tiap pagi. Ya, untukku kopi terasa lebih nikmat dengan melihatmu atau dengan menyadari bahwa kamu adalah milikku, meskipun aku yakin kamu bahkan tidak menambahkan gula sama sekali, sebuah misteri kecil yang aku terlalu gengsi untuk tanyakan.

Genggaman tanganmu? Ah, jangan tanya. Ia seperti charger ponselku yang rusak---kadang konek, kadang tidak, tapi tetap saja aku enggan menggantinya. Menyebalkan sekaligus menyenangkan. Suaramu yang menurut orang lain biasa saja, bagiku bagai playlist Spotify yang lupa aku matikan langganannya; membuatku merasa bodoh, tapi juga anehnya nyaman.

memilikimu merupakan sebuah kemenangan mutlak sepanjang masa untukku, sebuah klimaks pencapaian hidup, membayangkan yang lain hanya menatap kita sambil meratapi nasib kurang beruntungnya, aaahhh itu keindahan rasa sepanjang masa. 

Aku sadar, aku bukan tipikal lelaki perhatian yang menanyakan apakah kamu sudah makan, apakah kamu baik-baik saja, atau apakah kamu lagi mood untuk curhat. Alasannya sederhana: aku sudah terlalu nyaman dengan ilusi koneksi batin kita yang luar biasa semacam bluetooth versi primitif yang hanya bekerja dalam satu arah. Saat kamu gelisah, aku ikut gelisah, seperti koneksi internet yang tiba-tiba melambat tanpa alasan jelas. Dan kalau kamu sedang pergi, entah kenapa tidurku terasa sulit seperti tidur di atas kasur lipat yang pegasnya menusuk punggung.

Namun, jauh di balik semua kekonyolan ini, aku sadar bahwa aku hanyalah gelas retak murahan hasil diskon flash sale cacat, kaku, dan penuh drama masa lalu yang tidak bisa ditukar lagi. Aku terjebak dalam gaya kuno seorang lelaki yang lebih memilih tersedak gengsi ketimbang jujur mengakui kegagalannya. Aku tahu, memang sulit mengaku bahwa aku tidak bisa melakukan hal-hal sederhana yang bahkan sudah tercatat di buku panduan menjadi suami idaman.

Memang benar, ada beberapa hal yang tidak akan pernah bisa diperbaiki, seperti gelas yang retaknya makin parah tiap kali dicuci. Tapi anehnya, aku tetap percaya kalau aku bisa berubah, setidaknya lebih baik daripada update software yang malah bikin ponsel makin lemot. Demi Allah, aku sedang berusaha jadi lebih hangat, meskipun dengan kecepatan siput yang sedang malas.

Jadi, tetaplah di sini, ya. Karena hanya kamu yang sanggup membuat gelas retak ini tetap merasa punya nilai jual tinggi, bahkan di tengah pasar loak sekalipun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun