Mohon tunggu...
khamesyah Naumi Azzahra
khamesyah Naumi Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menulis untuk berbagi, bukan menggurui

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

kartini dan api emansipasi yang tak pernah padam

9 Juli 2025   18:11 Diperbarui: 9 Juli 2025   18:11 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Raden Ajeng Kartini atau kerap disebut R.A Kartini, merupakan salah satu tokoh pejuang kebangkitan perempuan pribumi. Ia lahir pada 21 April 1879. Berbeda dengan kebanyakan anak pribumi masa itu, kartini mempunyai kesempatan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan kaum priyayi Jawa. Melalui pendidikannya disana, Kartini mampu memahami dan berbicara bahasa Belanda. Namun, setelah usia 12 tahun Kartini harus Kembali ketanah Jawa dan tinggal dirumah, karena sudah dipinggit, seperti kebanyakan Wanita pada saat itu. Selama dipinggit Kartini banyak membaca buku, surat kabar, dan majalah Eropa. Dari sanalah tumbuh ketertarikan Kartini dengan pola pikir wanita Eropa. Kemudian timbul keinginannya untuk memajukan Wanita pribumi. karena ia melihat Perempuan pribumi saat itu berada pada status sosial yang rendah. Kartini juga sering berkirim Surat dengan teman temannya yang berasal dari Belanda. Melalui surat surat yang dikirimnya, Kartini menuangkan keinginannya tentang perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Pada tahun 1903 Kartini menikah dengan K.R.M. Adipati Aryo Singgih Djojoadiningrat. Suami Kartini yang mengerti keinginannya memberi kebebasan dan mendukungnya, dengan mendirikan sekolah Wanita di pintu timur gerbang perkantoran Rembang atau yang sekarang dikenal dengan Gedung Pramuka. Pada tahun 1904 Kartini menghembuskan nafas terahirnya. Walau sudah wafat, semangat emansipasi Kartini masih terus berlanjut sampai saat ini dengan dibukukannya surat-surat yang pernah dikirim Kartini. Buku itu berjudul  "Door Duisternis tot Licht"  yang berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya" yang diterbitkan pada tahun 1911. Kartini telah mengemukakan ide-ide pembaruan masyarakat yang melampaui zamannya melalui surat-suratnya itu.

Pada salah satu suratnya Kartini mengungkapkan tuntutan masa depan bagi perempuan tanah Bumiputera dalam sistem patriarki. Kekecewaannya terhadap sistem tersebut bahkan sempat membuatnya melontarkan pernyataan pahit "Saya teramat benci pernikahan. Pekerjaan yang serendah-rendahnya akan saya kerjakan dengan rasa syukur dan rasa cinta, asal saya bebas dari keharusan menikah".  kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900  ia menulis "Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya".  kepada Prof. Anton 4 Oktober 1901 Kartini menulis "Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama".  Melalui surat-suratnya itulah tergambar emansipasi yang besar dan keinginannya untuk memajukan wanita dalam segala hal.

kartini banyak mengutarakan tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi Perempuan jawa yang lebih maju dalam suratnya. Berkat kegigihannya, pada tahun 1912 berdirilah Sekolah Kartini oleh Yayasan Kartini, yang didirikan di Semarang, kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Madiun, Malang dan daerah lainnya. Pada 2 Mei 1964, Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan Presiden yang berisi ketetapan bahwa Kartini adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Emansipasi yang diperjuangkan Kartini bukanlah semata-mata persoalan wanita yang bisa sekolah atau bekerja, tetapi lebih dari itu mengenai  hak untuk berfikir, menentukan pilihan, dan dihargai setara dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, semangat emansipasi tidak boleh  berhenti pada peringatan seremonial semata. Tetapi harus terus dihidupkan dalam bentuk nyata, seperti pendidikan yang inklusif, perlindungan terhadap perempuan, serta dukungan terhadap pilihan hidup perempuan, apa pun bentuknya. Emansipasi bukan hanya milik perempuan, tetapi merupakan tanggung jawab bersama sebagai bangsa. Karena seperti yang diyakini Kartini, dari pendidikan dan kemerdekaan berpikir perempuanlah, akan lahir peradaban yang lebih maju dan berkeadilan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun