Mohon tunggu...
Khalila S
Khalila S Mohon Tunggu... Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional

Writing Occasionally

Selanjutnya

Tutup

Financial

WTO dan Paradoks Globalisasi

28 April 2025   20:18 Diperbarui: 28 April 2025   20:40 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Dalam beberapa dekade terakhir, globalisasi telah menjadi kekuatan utama yang membentuk dinamika ekonomi internasional. Melalui arus perdagangan bebas, mobilitas investasi, dan pertukaran teknologi, dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di tengah tatanan global yang mengedepankan keterbukaan pasar, World Trade Organization (WTO) berdiri sebagai institusi utama yang mengatur dan mengawasi sistem perdagangan internasional. Namun, dalam praktiknya, globalisasi juga menciptakan paradoks yang tajam: alih-alih meratakan kesempatan, globalisasi seringkali memperlebar jurang ketimpangan antara negara maju dan berkembang. WTO pun menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan idealnya dalam menjaga keadilan ketika sistem perdagangan global yang tidak selalu setara.

WTO: Penjaga Tatanan Perdagangan Global

WTO resmi berdiri pada tahun 1995 menggantikan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), dengan mandat utama untuk menciptakan sistem perdagangan yang bebas, adil, dan dapat diprediksi. Melalui perjanjian multilateral yang disepakati oleh anggotanya, WTO mengatur berbagai aspek perdagangan barang, jasa, dan kekayaan intelektual. Organisasi ini juga menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang menjadi rujukan utama ketika terjadi konflik antarnegara terkait perdagangan.

Secara prinsip, WTO menjunjung tinggi asas non-diskriminasi, transparansi, dan keterbukaan. Namun, ketika prinsip-prinsip tersebut dihadapkan pada realitas dunia yang penuh dengan ketimpangan struktural dan kepentingan politik-ekonomi yang tidak seimbang, maka muncul pertanyaan: apakah WTO benar-benar mampu menjadi penjamin keadilan dalam perdagangan internasional?

WTO beroperasi berdasarkan seperangkat perjanjian utama yang mengikat anggotanya. Tiga di antaranya sangat penting dalam memahami peran dan keterbatasan WTO saat ini:

1. GATT (General Agreement on Tariffs and Trade)

GATT adalah fondasi utama dari sistem perdagangan multilateral. Perjanjian ini mengatur pengurangan tarif dan hambatan perdagangan, serta menekankan prinsip-prinsip seperti non-diskriminasi, perlakuan yang sama (MFN , Most Favoured Nation), dan perlakuan nasional. GATT telah berkontribusi terhadap liberalisasi perdagangan global, namun kerap dikritik karena memberi ruang besar bagi negara-negara maju untuk mempertahankan kebijakan proteksionis secara terselubung, seperti melalui subsidi pertanian atau hambatan teknis.

2. TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights)

TRIPS adalah salah satu perjanjian paling kontroversial dalam WTO karena menetapkan standar tinggi perlindungan kekayaan intelektual. Negara maju, yang memiliki dominasi dalam inovasi dan paten, diuntungkan dari keberadaan TRIPS. Sementara itu, negara berkembang dan miskin menghadapi kesulitan dalam mengakses obat-obatan esensial dan teknologi karena terbentur perlindungan paten yang ketat. Perdebatan soal TRIPS semakin memanas saat pandemi COVID-19, ketika negara berkembang menuntut penghapusan sementara hak paten vaksin yang ditolak oleh banyak negara maju.

3. Dispute Settlement Body (DSB)

DSB adalah salah satu mekanisme unik WTO yang memungkinkan negara anggota menyelesaikan sengketa dagang secara formal dan legal. Mekanisme ini bertujuan menghindari tindakan sepihak dan mencegah eskalasi konflik perdagangan. Namun, sistem ini kini berada dalam krisis. Sejak 2019, Badan Banding DSB tidak berfungsi karena Amerika Serikat memblokir pengangkatan hakim baru, dengan alasan sistemnya bias dan merugikan kepentingan nasional. Akibatnya, sengketa yang diajukan tidak dapat diselesaikan secara tuntas.

Paradoks Globalisasi dan Ketimpangan Struktural

Salah satu kritik utama terhadap sistem perdagangan global yang dikelola oleh WTO adalah bahwa ia cenderung menguntungkan negara-negara maju. Negara-negara berkembang sering kali menghadapi hambatan struktural, mulai dari keterbatasan teknologi, kapasitas produksi rendah, hingga akses pasar yang terbatas akibat tarif dan non-tarif barrier dari negara maju.

Sebagai contoh, negara berkembang yang ingin mengembangkan industri pertanian domestiknya harus berhadapan dengan subsidi besar-besaran yang diberikan oleh negara-negara maju kepada petaninya. Pasar pertanian Uni Eropa dan Amerika Serikat dilindungi oleh subsidi besar-besaran, meski secara prinsip bertentangan dengan semangat GATT. Hal ini menyebabkan produk dari negara berkembang kalah bersaing di pasar global. Ketika negara berkembang mencoba menerapkan kebijakan proteksi untuk melindungi industri dalam negerinya, mereka kerap mendapat tekanan melalui aturan WTO yang melarang diskriminasi perdagangan.

Sementara negara maju menuntut keterbukaan pasar di negara berkembang, mereka sendiri mempertahankan kebijakan yang melindungi sektor-sektor strategisnya. WTO, dalam posisi sebagai penengah, seringkali terlihat kurang tegas dalam menangani ketidakseimbangan yang terjadi.

WTO di Tengah Perang Dagang 

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok membuktikan bahwa sistem perdagangan multilateral bisa dikesampingkan oleh kepentingan nasional. Tindakan AS yang memberlakukan tarif sepihak atas produk Tiongkok, dan sebaliknya, menjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip WTO. Namun, alih-alih menjadi mediator yang efektif, WTO terlihat tidak berdaya.

Ketika negara-negara besar mengabaikan aturan WTO atau bahkan merusak mekanismenya seperti dalam kasus DSB, maka legitimasi WTO sebagai penjaga sistem perdagangan global ikut tergerus. Negara berkembang pun kehilangan kepercayaan terhadap efektivitas sistem ini sebagai penjamin keadilan.

Ketimpangan Representasi dan Kebutuhan Reformasi

Masalah yang dihadapi WTO tidak hanya soal ketimpangan hasil perdagangan global, tetapi juga menyangkut ketimpangan dalam proses pengambilan keputusan. Negara-negara berkembang sering kali mengalami kesulitan dalam berpartisipasi secara aktif dalam perundingan multilateral karena keterbatasan sumber daya manusia, kemampuan teknis, dan akses informasi. Di sisi lain, negara-negara maju hadir dengan delegasi besar dan tim negosiator yang berpengalaman, memungkinkan mereka untuk mendominasi arah diskusi dan hasil perjanjian.

Sistem konsensus dalam WTO memang terdengar demokratis di atas kertas, tetapi dalam praktiknya, negara-negara besar dengan kekuatan ekonomi dan politik yang kuat sering kali menjadi pengarah utama kebijakan global. Akibatnya, negara-negara berkembang lebih banyak bersifat reaktif ketimbang proaktif dalam memengaruhi arah negosiasi.

Selain ketimpangan representasi, WTO juga menghadapi tantangan relevansi aturan. Banyak regulasi WTO saat ini dianggap ketinggalan zaman dan tidak mencerminkan realitas baru dalam perdagangan global. Isu-isu kontemporer seperti ekonomi digital, perdagangan jasa berbasis teknologi, perubahan iklim, keamanan pangan, hingga rantai pasok global pasca-pandemi belum tertangani secara komprehensif dalam kerangka hukum WTO saat ini. Jika tidak segera diperbarui, WTO berisiko menjadi institusi yang tidak relevan di tengah dinamika ekonomi global yang terus berubah.

Oleh karena itu, reformasi WTO bukan hanya perlu, tapi mendesak, baik dari segi struktur kelembagaan maupun isi aturan. Beberapa langkah reformasi yang dapat dipertimbangkan antara lain:

  • Memperbaiki fungsi Dispute Settlement Body (DSB): Badan ini harus kembali independen dan dapat berfungsi secara penuh. Pengangkatan hakim banding tidak boleh dijadikan alat tekanan politik. Tanpa mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, WTO akan kehilangan fungsi utamanya sebagai penegak aturan perdagangan global.

  • Revisi terhadap TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights): Aturan perlindungan hak kekayaan intelektual perlu lebih fleksibel, terutama dalam situasi darurat global seperti pandemi atau krisis iklim. Perlindungan paten harus seimbang antara insentif bagi inovator dan kebutuhan publik akan akses terhadap teknologi penting, termasuk obat-obatan dan vaksin.

  • Memperkuat dukungan teknis bagi negara berkembang: WTO perlu menyediakan bantuan teknis dan pelatihan agar negara-negara berkembang bisa lebih aktif dalam perundingan. Ini termasuk dukungan hukum, ekonomi, dan diplomasi perdagangan.

  • Peningkatan transparansi dan partisipasi: WTO harus memperbaiki mekanisme konsultasi dan pengambilan keputusan agar lebih terbuka dan inklusif. Negara-negara berkembang harus memiliki ruang yang lebih besar untuk menyuarakan kepentingannya, dan proses negosiasi harus dirancang agar tidak memihak kekuatan besar saja.

  • Pembaruan regulasi sesuai kebutuhan zaman: WTO perlu mulai membahas dan menyusun aturan baru yang menjawab tantangan abad ke-21. Termasuk di dalamnya adalah kerangka kerja untuk perdagangan digital dan e-commerce, pengaturan emisi karbon dan perdagangan berbasis lingkungan (carbon border adjustment), serta pengawasan terhadap praktik monopoli teknologi global yang melibatkan perusahaan multinasional besar.

Tanpa reformasi menyeluruh yang menyentuh baik aspek prosedural maupun substantif, WTO akan sulit berfungsi sebagai platform perdagangan global yang adil dan relevan. Organisasi ini akan tertinggal oleh perkembangan zaman dan makin tidak dipercaya, khususnya oleh negara-negara berkembang yang paling membutuhkan sistem perdagangan global yang setara.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun