Mohon tunggu...
Khalila S
Khalila S Mohon Tunggu... Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional

Writing Occasionally

Selanjutnya

Tutup

Financial

WTO dan Paradoks Globalisasi

28 April 2025   20:18 Diperbarui: 28 April 2025   20:40 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Paradoks Globalisasi dan Ketimpangan Struktural

Salah satu kritik utama terhadap sistem perdagangan global yang dikelola oleh WTO adalah bahwa ia cenderung menguntungkan negara-negara maju. Negara-negara berkembang sering kali menghadapi hambatan struktural, mulai dari keterbatasan teknologi, kapasitas produksi rendah, hingga akses pasar yang terbatas akibat tarif dan non-tarif barrier dari negara maju.

Sebagai contoh, negara berkembang yang ingin mengembangkan industri pertanian domestiknya harus berhadapan dengan subsidi besar-besaran yang diberikan oleh negara-negara maju kepada petaninya. Pasar pertanian Uni Eropa dan Amerika Serikat dilindungi oleh subsidi besar-besaran, meski secara prinsip bertentangan dengan semangat GATT. Hal ini menyebabkan produk dari negara berkembang kalah bersaing di pasar global. Ketika negara berkembang mencoba menerapkan kebijakan proteksi untuk melindungi industri dalam negerinya, mereka kerap mendapat tekanan melalui aturan WTO yang melarang diskriminasi perdagangan.

Sementara negara maju menuntut keterbukaan pasar di negara berkembang, mereka sendiri mempertahankan kebijakan yang melindungi sektor-sektor strategisnya. WTO, dalam posisi sebagai penengah, seringkali terlihat kurang tegas dalam menangani ketidakseimbangan yang terjadi.

WTO di Tengah Perang Dagang 

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok membuktikan bahwa sistem perdagangan multilateral bisa dikesampingkan oleh kepentingan nasional. Tindakan AS yang memberlakukan tarif sepihak atas produk Tiongkok, dan sebaliknya, menjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip WTO. Namun, alih-alih menjadi mediator yang efektif, WTO terlihat tidak berdaya.

Ketika negara-negara besar mengabaikan aturan WTO atau bahkan merusak mekanismenya seperti dalam kasus DSB, maka legitimasi WTO sebagai penjaga sistem perdagangan global ikut tergerus. Negara berkembang pun kehilangan kepercayaan terhadap efektivitas sistem ini sebagai penjamin keadilan.

Ketimpangan Representasi dan Kebutuhan Reformasi

Masalah yang dihadapi WTO tidak hanya soal ketimpangan hasil perdagangan global, tetapi juga menyangkut ketimpangan dalam proses pengambilan keputusan. Negara-negara berkembang sering kali mengalami kesulitan dalam berpartisipasi secara aktif dalam perundingan multilateral karena keterbatasan sumber daya manusia, kemampuan teknis, dan akses informasi. Di sisi lain, negara-negara maju hadir dengan delegasi besar dan tim negosiator yang berpengalaman, memungkinkan mereka untuk mendominasi arah diskusi dan hasil perjanjian.

Sistem konsensus dalam WTO memang terdengar demokratis di atas kertas, tetapi dalam praktiknya, negara-negara besar dengan kekuatan ekonomi dan politik yang kuat sering kali menjadi pengarah utama kebijakan global. Akibatnya, negara-negara berkembang lebih banyak bersifat reaktif ketimbang proaktif dalam memengaruhi arah negosiasi.

Selain ketimpangan representasi, WTO juga menghadapi tantangan relevansi aturan. Banyak regulasi WTO saat ini dianggap ketinggalan zaman dan tidak mencerminkan realitas baru dalam perdagangan global. Isu-isu kontemporer seperti ekonomi digital, perdagangan jasa berbasis teknologi, perubahan iklim, keamanan pangan, hingga rantai pasok global pasca-pandemi belum tertangani secara komprehensif dalam kerangka hukum WTO saat ini. Jika tidak segera diperbarui, WTO berisiko menjadi institusi yang tidak relevan di tengah dinamika ekonomi global yang terus berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun