Mohon tunggu...
Khairil Razali
Khairil Razali Mohon Tunggu... Dosen - Explorer

Ngampus di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, suka travelling.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

"Meugang", Tradisi Tak Tergerus Zaman Masyarakat Aceh

7 Juni 2019   01:23 Diperbarui: 7 Juni 2019   23:39 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pedagang di pasar tradisional di Banda Aceh sedang berjualan daging sapi. Setiap hari Makmeugang warga berbondong-bondong membeli daging sapi untuk dimakan bersama keluarga. Harga daging sapi dijula Rp130-150 ribu perkilogramnya. (Kompas.com/KONTRIBUTOR BANDA ACEH, DASPRIANI Y ZAMZAMI)

Meugang merupakan sebuah tradisi yang telah terpatri dalam masyarakat Aceh yaitu menikmati daging bersama keluarga, atau kerabat lainnya. 

Tradisi yang telah turun temurun dan masih terjaga di Aceh di yakini telah berumur ratusan tahun. Tradisi ini terjadi dua kali dalam setahun yaitu menjelang bulan ramadhan dan hari raya idul fitri. 

Seakan sudah menjadi "kewajiban" bagi masyarakat Aceh untuk membeli daging di kedua momen tersebut untuk di sajikan dalam hampir semua keluarga di Aceh. 

Tanpa menghiraukan harga daging itu sendiri yang setiap tahunnya terus menanjak naik, masyarakat tetap saja berbondong-bondong mengusahakan tercapainya usaha untuk membeli daging walau hanya 1 kilogram. Yang intinya, tradisi menikmati daging di hari meugang harus terpenuhi.

Entah siapa yang awal mula mencetuskan tradisi meugang di dalam masyarakat Aceh, karena sejauh saya berunjung di sejumlah tempat Indonesia, saya belum menemukan tradisi ini. 

Nuansa meugang begitu terkesan dan magic di seantero Aceh. Tanpa ada yang mengatur, tercetus dengan sendirinya di setiap pelosok-pelosok pasar atau pusat komunitas di Aceh, hadirnya masyarakat yang menjajakan daging-daging lembu atau kerbau segar di hari meugang. 

Sumber Photo: https://suara-islam.com
Sumber Photo: https://suara-islam.com
Ironisnya, peran pemerintah sangatlah kecil dalam menentukan pangsa pasar harga daging meugang, yang notabene cenderung terus menanjak naik dan ruang untuk mengendalikannya. Faktanya, masyarakat tetap berupaya untuk membeli tanpa rasa enggan.

"Tanpa menghiraukan harga daging itu sendiri yang setiap tahunnya terus menanjak naik, masyarakat tetap saja berbondong-bondong mengusahakan tercapainya usaha untuk membeli daging walau hanya 1 kilogram. Yang intinya, tradisi menikmati daging di hari meugang harus terpenuhi."

Di sisi lain, tradisi meugang mengelaminir sekelompok masyarakat yang kurang mampu untuk mengusahakan tersedianya daging meugang hadir di rumah-rumah mereka. Bagi mereka yang kurang mampu, maka setiap tahunnya harga daging meugang menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk mereka gapai. 

Jadinya, kemeriahan meugang tidak bisa terpatri dalam setiap sudut dapur masyarakat yang ada di aceh. Mereka-mereka yang urang mampu, seperti halnya anak yatim, akan merasakan pahitnya tradisi meugang bagi mereka. Memang, ada kebijakan-kebijakan atau bantuan-bantuan bagi masyarakat kurang mampu, namun hal ini belum menutupi kekosongan pemenuhan daging meugang bagi masyarakat kurang mampu. 

Satu hal bagus bahwa tradisi meugang menggerakkan ekonomi yang sangat luar biasa terutama mereka-mereka yang menggantungkan hidupnya dari pengembangbiakan sapi atau kerbau, namun disisi lain meugang bisa memicu pengeluaran yang besar bagi mereka-mereka yang memiliki keluarga yang besar dalam penyediaan daging setiap tahunnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun