Mohon tunggu...
Kezia Artanauli Purba
Kezia Artanauli Purba Mohon Tunggu... Teacher

I am a biology teacher who truly enjoys my profession. I take great pleasure in keeping myself updated with ongoing developments and the evolving teaching methods, while ensuring that every approach remains aligned with established educational values and norms

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengkaji Nilai- Nilai Implementasi Trihita Karana dalam Suatu Tata Ruang Wilayah dan Integrasinya ke dalam Kurikulum SMA

6 Oktober 2025   14:39 Diperbarui: 6 Oktober 2025   14:39 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan

Sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga ruang tempat nilai-nilai kehidupan ditanamkan, dipraktikkan, dan dihayati setiap hari. Dalam konteks pendidikan Indonesia yang kaya akan kearifan lokal, konsep Tri Hita Karana (THK) menjadi salah satu landasan filosofis yang sangat relevan untuk membangun pendidikan berkarakter. Konsep yang berasal dari kebudayaan Bali ini mengajarkan keseimbangan hidup melalui tiga hubungan utama: hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan sesama (Pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan).

Dalam dunia modern yang cenderung menekankan aspek kognitif dan pencapaian akademik, nilai-nilai spiritual dan ekologis sering kali terpinggirkan. Sekolah yang ideal seharusnya tidak hanya mendidik siswa agar cerdas secara intelektual, tetapi juga peka terhadap moral, sosial, dan lingkungan. Di sinilah Tri Hita Karana dapat menjadi panduan praktis dalam menata ruang dan budaya sekolah yang seimbang --- agar pendidikan tidak kehilangan ruh kemanusiaannya.

Tata ruang sekolah sesungguhnya mencerminkan filosofi pendidikan yang dianut oleh institusi tersebut. Penataan yang baik bukan hanya memengaruhi efektivitas belajar, tetapi juga suasana batin dan nilai-nilai yang tertanam dalam diri warga sekolah. Sekolah yang memiliki tempat ibadah, ruang sosial, area hijau, serta pengelolaan lingkungan yang baik akan lebih mudah menumbuhkan karakter siswa yang religius, empatik, dan berwawasan ekologis. Artikel ini akan membahas bagaimana konsep Tri Hita Karana dapat diimplementasikan dalam tata ruang sekolah secara nyata, sehingga sekolah dapat menjadi miniatur kehidupan yang harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam.

Pembahasan

1. Parahyangan: Ruang yang Menyatukan Spiritualitas dan Pembelajaran

Konsep Parahyangan menekankan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam konteks sekolah, hal ini tidak hanya berarti menyediakan tempat ibadah, tetapi juga bagaimana lingkungan sekolah mampu membangun suasana spiritual yang damai, penuh rasa syukur, dan menghargai keberagaman keyakinan.

Sekolah yang berlandaskan Parahyangan biasanya menyediakan fasilitas ibadah bagi berbagai agama --- seperti musala, kapel, ruang doa, atau area meditatif. Namun lebih dari sekadar tempat, nilai Parahyangan hidup melalui rutinitas: doa sebelum belajar, refleksi setelah pelajaran, hingga kegiatan keagamaan lintas iman yang menumbuhkan toleransi dan kesadaran spiritual. Dalam banyak sekolah di Indonesia, kegiatan seperti doa bersama setiap pagi atau peringatan hari besar agama menjadi cara sederhana untuk mengintegrasikan nilai ini ke dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, arsitektur sekolah juga dapat mendukung suasana religius. Misalnya, tata ruang yang terbuka, pencahayaan alami yang cukup, serta taman-taman yang menenangkan memberi ruang bagi siswa untuk merenung dan beristirahat secara spiritual. Sekolah yang menempatkan ruang doa di lokasi strategis --- mudah dijangkau dan tidak tersembunyi --- menunjukkan penghargaan terhadap nilai Parahyangan.

Implementasi Parahyangan dalam pendidikan modern juga dapat dilakukan secara simbolik melalui kegiatan yang menumbuhkan nilai kejujuran, rasa syukur, dan kepedulian. Guru berperan penting sebagai teladan spiritual, bukan hanya pengajar pengetahuan. Dengan begitu, sekolah menjadi tempat lahirnya generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga beriman dan berintegritas.

2. Pawongan: Membangun Harmoni dalam Relasi Sosial di Lingkungan Sekolah

Dimensi kedua dari Tri Hita Karana, yaitu Pawongan, berfokus pada keharmonisan hubungan antar manusia. Dalam lingkungan sekolah, nilai ini terwujud melalui interaksi antara guru, siswa, tenaga kependidikan, dan masyarakat sekitar. Tata ruang sekolah yang baik dapat menjadi sarana untuk memperkuat nilai-nilai sosial tersebut.

Sekolah yang menata ruangnya secara terbuka dan komunikatif mendorong terciptanya hubungan sosial yang sehat. Misalnya, penempatan ruang guru dan kantor administrasi di dekat area siswa dapat memudahkan interaksi dan menciptakan suasana akrab tanpa sekat hierarki yang kaku. Ruang terbuka seperti kantin, taman, dan area istirahat berfungsi sebagai tempat pertemuan sosial informal, di mana siswa belajar menghargai perbedaan dan berlatih keterampilan sosial.

Konsep Pawongan juga bisa dihidupkan melalui ruang-ruang kolaboratif seperti ruang rapat, ruang konseling, dan ruang kegiatan ekstrakurikuler. Ruang-ruang ini menjadi wadah bagi siswa dan guru untuk berdiskusi, menyelesaikan masalah bersama, dan mengembangkan rasa empati. Kehadiran ruang konselor atau ruang bimbingan dan konseling (BK) mencerminkan perhatian sekolah terhadap kesejahteraan mental dan emosional siswa --- bagian penting dari harmoni antarmanusia.

Lebih jauh lagi, budaya sekolah yang mendukung kerja sama dan kebersamaan merupakan bentuk nyata implementasi Pawongan. Misalnya, program "kelas berbagi" di mana siswa senior membantu adik kelas dalam belajar, atau kegiatan service learning di mana siswa terlibat langsung membantu masyarakat sekitar. Semua ini mengajarkan nilai kemanusiaan yang menjadi inti dari pendidikan berbasis Tri Hita Karana.

Sekolah yang berhasil menanamkan nilai Pawongan akan menghasilkan generasi yang mampu bekerja sama, menghormati perbedaan, dan memiliki empati sosial yang tinggi --- kualitas yang sangat dibutuhkan di era globalisasi yang kompleks dan individualistik.

3. Palemahan: Menata Sekolah yang Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

Dimensi terakhir dari Tri Hita Karana adalah Palemahan, yaitu hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan alam. Dalam konteks sekolah, Palemahan mencakup bagaimana tata ruang dan kegiatan diatur agar ramah lingkungan, bersih, hijau, dan berkelanjutan.

Sekolah yang menerapkan Palemahan akan memperhatikan aspek lingkungan dalam setiap rancangan ruangnya. Misalnya, adanya area hijau atau taman sekolah yang berfungsi bukan hanya sebagai penghias, tetapi juga sebagai ruang belajar terbuka. Siswa dapat belajar biologi, seni, bahkan refleksi diri di tengah alam. Sekolah hijau juga biasanya menerapkan sistem pengelolaan sampah terpilah, penghematan air, serta penggunaan energi secara efisien.

Selain itu, Palemahan juga berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan. Tata ruang sekolah yang memperhatikan ventilasi udara, pencahayaan alami, serta jalur evakuasi yang jelas mencerminkan kepedulian terhadap kesejahteraan warga sekolah. Di beberapa sekolah, keberadaan assembly point atau titik kumpul evakuasi menjadi bukti nyata bahwa keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan berjalan beriringan.

Implementasi Palemahan juga bisa masuk ke dalam kegiatan pembelajaran. Misalnya, proyek daur ulang, pembuatan taman vertikal, atau lomba kebersihan antarkelas yang bukan hanya mendidik tanggung jawab, tapi juga menanamkan kesadaran ekologis. Dalam konteks kurikulum Merdeka, sekolah dapat mengaitkan kegiatan tersebut dengan Profil Pelajar Pancasila, khususnya pada dimensi "beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia" serta "berkebinekaan global dan bergotong royong."

Dengan demikian, sekolah yang menerapkan nilai Palemahan bukan sekadar menjaga kebersihan lingkungan, tetapi juga menciptakan sistem pendidikan yang berkelanjutan --- menyiapkan generasi yang mampu hidup selaras dengan bumi.

Refleksi dan Penutup

Penerapan Tri Hita Karana dalam tata ruang sekolah bukan hanya urusan estetika atau desain arsitektur, tetapi juga menyangkut filosofi pendidikan itu sendiri. Sekolah yang menata ruangnya berdasarkan prinsip Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan sedang membangun ekosistem belajar yang holistik --- di mana spiritualitas, sosialitas, dan ekologi saling mendukung.

Dalam era pendidikan modern yang sering kali terjebak dalam kompetisi nilai dan prestasi akademik, kearifan lokal seperti Tri Hita Karana menjadi pengingat penting bahwa pendidikan sejatinya adalah proses pemanusiaan. Siswa belajar bukan hanya untuk menjadi pintar, tetapi juga untuk menjadi manusia yang sadar akan hubungan spiritualnya, peduli terhadap sesama, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Ke depan, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memberi perhatian lebih pada integrasi nilai-nilai lokal dalam desain dan kebijakan sekolah. Penataan ruang berbasis Tri Hita Karana dapat menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia untuk menciptakan lingkungan belajar yang seimbang, damai, dan berkelanjutan.

Tri Hita Karana bukan sekadar warisan budaya Bali, tetapi filosofi universal yang relevan bagi siapa pun yang ingin hidup dalam harmoni. Sekolah, sebagai tempat tumbuhnya generasi masa depan, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadikan nilai-nilai ini sebagai bagian nyata dari kehidupan sehari-hari. Melalui tata ruang yang religius, sosial, dan ekologis, sekolah dapat benar-benar menjadi taman belajar yang memanusiakan manusia --- tempat di mana ilmu, iman, dan alam berpadu dalam keseimbangan yang indah.

Pendahuluan

Sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga ruang tempat nilai-nilai kehidupan ditanamkan, dipraktikkan, dan dihayati setiap hari. Dalam konteks pendidikan Indonesia yang kaya akan kearifan lokal, konsep Tri Hita Karana (THK) menjadi salah satu landasan filosofis yang sangat relevan untuk membangun pendidikan berkarakter. Konsep yang berasal dari kebudayaan Bali ini mengajarkan keseimbangan hidup melalui tiga hubungan utama: hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan sesama (Pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan).

Dalam dunia modern yang cenderung menekankan aspek kognitif dan pencapaian akademik, nilai-nilai spiritual dan ekologis sering kali terpinggirkan. Sekolah yang ideal seharusnya tidak hanya mendidik siswa agar cerdas secara intelektual, tetapi juga peka terhadap moral, sosial, dan lingkungan. Di sinilah Tri Hita Karana dapat menjadi panduan praktis dalam menata ruang dan budaya sekolah yang seimbang --- agar pendidikan tidak kehilangan ruh kemanusiaannya.

Tata ruang sekolah sesungguhnya mencerminkan filosofi pendidikan yang dianut oleh institusi tersebut. Penataan yang baik bukan hanya memengaruhi efektivitas belajar, tetapi juga suasana batin dan nilai-nilai yang tertanam dalam diri warga sekolah. Sekolah yang memiliki tempat ibadah, ruang sosial, area hijau, serta pengelolaan lingkungan yang baik akan lebih mudah menumbuhkan karakter siswa yang religius, empatik, dan berwawasan ekologis. Artikel ini akan membahas bagaimana konsep Tri Hita Karana dapat diimplementasikan dalam tata ruang sekolah secara nyata, sehingga sekolah dapat menjadi miniatur kehidupan yang harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam.

Pembahasan

1. Parahyangan: Ruang yang Menyatukan Spiritualitas dan Pembelajaran

Konsep Parahyangan menekankan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam konteks sekolah, hal ini tidak hanya berarti menyediakan tempat ibadah, tetapi juga bagaimana lingkungan sekolah mampu membangun suasana spiritual yang damai, penuh rasa syukur, dan menghargai keberagaman keyakinan.

Sekolah yang berlandaskan Parahyangan biasanya menyediakan fasilitas ibadah bagi berbagai agama --- seperti musala, kapel, ruang doa, atau area meditatif. Namun lebih dari sekadar tempat, nilai Parahyangan hidup melalui rutinitas: doa sebelum belajar, refleksi setelah pelajaran, hingga kegiatan keagamaan lintas iman yang menumbuhkan toleransi dan kesadaran spiritual. Dalam banyak sekolah di Indonesia, kegiatan seperti doa bersama setiap pagi atau peringatan hari besar agama menjadi cara sederhana untuk mengintegrasikan nilai ini ke dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, arsitektur sekolah juga dapat mendukung suasana religius. Misalnya, tata ruang yang terbuka, pencahayaan alami yang cukup, serta taman-taman yang menenangkan memberi ruang bagi siswa untuk merenung dan beristirahat secara spiritual. Sekolah yang menempatkan ruang doa di lokasi strategis --- mudah dijangkau dan tidak tersembunyi --- menunjukkan penghargaan terhadap nilai Parahyangan.

Implementasi Parahyangan dalam pendidikan modern juga dapat dilakukan secara simbolik melalui kegiatan yang menumbuhkan nilai kejujuran, rasa syukur, dan kepedulian. Guru berperan penting sebagai teladan spiritual, bukan hanya pengajar pengetahuan. Dengan begitu, sekolah menjadi tempat lahirnya generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga beriman dan berintegritas.

2. Pawongan: Membangun Harmoni dalam Relasi Sosial di Lingkungan Sekolah

Dimensi kedua dari Tri Hita Karana, yaitu Pawongan, berfokus pada keharmonisan hubungan antar manusia. Dalam lingkungan sekolah, nilai ini terwujud melalui interaksi antara guru, siswa, tenaga kependidikan, dan masyarakat sekitar. Tata ruang sekolah yang baik dapat menjadi sarana untuk memperkuat nilai-nilai sosial tersebut.

Sekolah yang menata ruangnya secara terbuka dan komunikatif mendorong terciptanya hubungan sosial yang sehat. Misalnya, penempatan ruang guru dan kantor administrasi di dekat area siswa dapat memudahkan interaksi dan menciptakan suasana akrab tanpa sekat hierarki yang kaku. Ruang terbuka seperti kantin, taman, dan area istirahat berfungsi sebagai tempat pertemuan sosial informal, di mana siswa belajar menghargai perbedaan dan berlatih keterampilan sosial.

Konsep Pawongan juga bisa dihidupkan melalui ruang-ruang kolaboratif seperti ruang rapat, ruang konseling, dan ruang kegiatan ekstrakurikuler. Ruang-ruang ini menjadi wadah bagi siswa dan guru untuk berdiskusi, menyelesaikan masalah bersama, dan mengembangkan rasa empati. Kehadiran ruang konselor atau ruang bimbingan dan konseling (BK) mencerminkan perhatian sekolah terhadap kesejahteraan mental dan emosional siswa --- bagian penting dari harmoni antarmanusia.

Lebih jauh lagi, budaya sekolah yang mendukung kerja sama dan kebersamaan merupakan bentuk nyata implementasi Pawongan. Misalnya, program "kelas berbagi" di mana siswa senior membantu adik kelas dalam belajar, atau kegiatan service learning di mana siswa terlibat langsung membantu masyarakat sekitar. Semua ini mengajarkan nilai kemanusiaan yang menjadi inti dari pendidikan berbasis Tri Hita Karana.

Sekolah yang berhasil menanamkan nilai Pawongan akan menghasilkan generasi yang mampu bekerja sama, menghormati perbedaan, dan memiliki empati sosial yang tinggi --- kualitas yang sangat dibutuhkan di era globalisasi yang kompleks dan individualistik.

3. Palemahan: Menata Sekolah yang Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

Dimensi terakhir dari Tri Hita Karana adalah Palemahan, yaitu hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan alam. Dalam konteks sekolah, Palemahan mencakup bagaimana tata ruang dan kegiatan diatur agar ramah lingkungan, bersih, hijau, dan berkelanjutan.

Sekolah yang menerapkan Palemahan akan memperhatikan aspek lingkungan dalam setiap rancangan ruangnya. Misalnya, adanya area hijau atau taman sekolah yang berfungsi bukan hanya sebagai penghias, tetapi juga sebagai ruang belajar terbuka. Siswa dapat belajar biologi, seni, bahkan refleksi diri di tengah alam. Sekolah hijau juga biasanya menerapkan sistem pengelolaan sampah terpilah, penghematan air, serta penggunaan energi secara efisien.

Selain itu, Palemahan juga berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan. Tata ruang sekolah yang memperhatikan ventilasi udara, pencahayaan alami, serta jalur evakuasi yang jelas mencerminkan kepedulian terhadap kesejahteraan warga sekolah. Di beberapa sekolah, keberadaan assembly point atau titik kumpul evakuasi menjadi bukti nyata bahwa keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan berjalan beriringan.

Implementasi Palemahan juga bisa masuk ke dalam kegiatan pembelajaran. Misalnya, proyek daur ulang, pembuatan taman vertikal, atau lomba kebersihan antarkelas yang bukan hanya mendidik tanggung jawab, tapi juga menanamkan kesadaran ekologis. Dalam konteks kurikulum Merdeka, sekolah dapat mengaitkan kegiatan tersebut dengan Profil Pelajar Pancasila, khususnya pada dimensi "beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia" serta "berkebinekaan global dan bergotong royong."

Dengan demikian, sekolah yang menerapkan nilai Palemahan bukan sekadar menjaga kebersihan lingkungan, tetapi juga menciptakan sistem pendidikan yang berkelanjutan --- menyiapkan generasi yang mampu hidup selaras dengan bumi.

Refleksi dan Penutup

Penerapan Tri Hita Karana dalam tata ruang sekolah bukan hanya urusan estetika atau desain arsitektur, tetapi juga menyangkut filosofi pendidikan itu sendiri. Sekolah yang menata ruangnya berdasarkan prinsip Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan sedang membangun ekosistem belajar yang holistik --- di mana spiritualitas, sosialitas, dan ekologi saling mendukung.

Dalam era pendidikan modern yang sering kali terjebak dalam kompetisi nilai dan prestasi akademik, kearifan lokal seperti Tri Hita Karana menjadi pengingat penting bahwa pendidikan sejatinya adalah proses pemanusiaan. Siswa belajar bukan hanya untuk menjadi pintar, tetapi juga untuk menjadi manusia yang sadar akan hubungan spiritualnya, peduli terhadap sesama, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Ke depan, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memberi perhatian lebih pada integrasi nilai-nilai lokal dalam desain dan kebijakan sekolah. Penataan ruang berbasis Tri Hita Karana dapat menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia untuk menciptakan lingkungan belajar yang seimbang, damai, dan berkelanjutan.

Tri Hita Karana bukan sekadar warisan budaya Bali, tetapi filosofi universal yang relevan bagi siapa pun yang ingin hidup dalam harmoni. Sekolah, sebagai tempat tumbuhnya generasi masa depan, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadikan nilai-nilai ini sebagai bagian nyata dari kehidupan sehari-hari. Melalui tata ruang yang religius, sosial, dan ekologis, sekolah dapat benar-benar menjadi taman belajar yang memanusiakan manusia --- tempat di mana ilmu, iman, dan alam berpadu dalam keseimbangan yang indah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun