Mohon tunggu...
kezia arsa pradnyani
kezia arsa pradnyani Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Ganesha

Memiliki hobi di bidang seni, membaca, dan menulis serta ketertarikan dalam memberikan kontribusi di bidang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hari Pagerwesi: Lebih dari Ritual, Sebuah Perjalanan Spiritual

17 September 2025   08:16 Diperbarui: 17 September 2025   08:16 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pengalaman dalam merayakan Hari Pagerwesi selalu menghadirkan kesan yang sulit dilupakan. Suasana pagi itu berbeda dari biasanya; sejak fajar, rumah sudah dipenuhi aktivitas yang sarat dengan makna. Bunyi persiapan terdengar dari setiap sudut: ada yang sedang memetik bunga, ada yang merangkai janur, dan ada pula yang menata perlengkapan banten. Aroma dupa yang perlahan mengepul memberi nuansa sakral dan menghadirkan rasa damai di hati. Semua terasa selaras, seolah alam ikut menyambut datangnya hari suci ini.

Dalam perjalanan sejarahnya, Pagerwesi diperingati setiap Buda Kliwon Wuku Shinta, yang dipercaya sebagai hari untuk memperkuat keyakinan dan melawan kegelapan batin. Nilai historis ini membuat Pagerwesi tidak hanya dipandang sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai warisan budaya yang mengajarkan manusia untuk selalu memperbarui keyakinan agar tetap kokoh menghadapi arus kehidupan. Menyadari hal itu, mengikuti Pagerwesi seolah membawa diri kembali pada akar tradisi yang telah dijalani leluhur selama berabad-abad.

Kesibukan persiapan tidak hanya sekadar rutinitas. Keterlibatan seluruh anggota keluarga dalam menyusun sesajen menciptakan suasana kebersamaan yang hangat. Ada rasa kebanggaan tersendiri saat setiap orang memiliki peran masing-masing: yang tua memberi arahan, yang muda membantu mengangkat atau menata, dan anak-anak belajar dengan cara sederhana, seperti menaruh bunga di canang. Nilai kebersamaan itu memberi makna bahwa tradisi tidak hanya dijalani, tetapi juga diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam proses itulah tercermin betapa kuatnya ikatan keluarga, karena ritual keagamaan ini menjadi sarana mempererat hubungan sekaligus mengajarkan nilai gotong royong.

Saat waktu sembahyang tiba, suasana berubah menjadi hening. Semua aktivitas berhenti, digantikan dengan doa-doa yang dipanjatkan khidmat. Kepulan asap dupa yang naik ke langit seakan membawa harapan dan permohonan perlindungan dari Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam keheningan itu, batin terasa lebih tenang. Setiap kata doa mengandung kekuatan, seolah menjadi pagar yang melindungi dari keraguan, godaan, dan kesulitan hidup. Filosofi "pager wesi" atau pagar besi sungguh terasa nyata: manusia membutuhkan perlindungan yang kokoh, bukan hanya secara lahiriah, tetapi terutama secara batiniah.

Banten yang dipersembahkan saat Pagerwesi juga memiliki makna mendalam. Setiap bunga, janur, dan makanan yang disusun rapi bukan sekadar hiasan, tetapi simbol doa dan harapan. Misalnya, bunga dengan warna berbeda melambangkan keseimbangan alam semesta, sementara makanan hasil bumi melambangkan rasa syukur atas berkah yang telah diberikan. Saat ikut menyusun banten, tersadar bahwa setiap detail kecil sesungguhnya adalah pesan tentang keseimbangan hidup antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Setelah sembahyang di rumah, perjalanan dilanjutkan menuju pura desa. Pura yang biasanya tenang kini dipenuhi umat dengan pakaian adat yang rapi. Melihat barisan orang-orang yang datang dengan penuh penghayatan menghadirkan rasa haru sekaligus bangga. Pagerwesi bukan hanya milik individu atau keluarga, melainkan milik bersama. Kebersamaan yang terjalin di pura memperlihatkan bahwa spiritualitas juga menumbuhkan rasa persaudaraan. Ketika ratusan umat berkumpul dengan tujuan yang sama, ada kesadaran baru bahwa manusia sejatinya saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling melindungi.

Generasi muda yang ikut serta dalam prosesi Pagerwesi memberi harapan akan keberlanjutan tradisi. Melihat anak-anak mengenakan busana adat, membawa sesajen dengan langkah kecil namun penuh semangat, menyadarkan bahwa warisan budaya ini tetap hidup. Pengalaman ini sekaligus menjadi pendidikan moral dan spiritual yang tak ternilai. Mereka tidak hanya mendengar cerita tentang Pagerwesi, tetapi mengalaminya langsung. Dari situlah lahir rasa hormat pada leluhur dan keyakinan bahwa tradisi bukanlah beban, melainkan identitas.

Aspek sosial Pagerwesi juga sangat terasa. Dalam persiapan dan pelaksanaan, tetangga saling membantu dengan tulus. Ada yang saling berbagi hasil bumi untuk banten, ada yang meminjamkan perlengkapan, bahkan ada yang datang sekadar memberikan tenaga tambahan. Solidaritas ini menjadi pagar sosial yang melindungi masyarakat dari perpecahan. Dari sini terlihat bahwa Pagerwesi tidak hanya membentengi diri secara individu, tetapi juga memperkuat ikatan sosial. Nilai ini begitu penting di tengah kehidupan modern yang sering membuat orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Pagerwesi mengingatkan bahwa kebersamaan tetaplah fondasi hidup yang utama.

Selain itu, makna filosofis Pagerwesi patut direnungkan lebih dalam. Pagar besi tidak bisa dilihat atau disentuh, tetapi hadir sebagai simbol keteguhan iman, moral, dan pikiran jernih. Dalam kehidupan sehari-hari, pagar besi terwujud melalui kemampuan menjaga diri dari perbuatan yang merugikan, menjaga ucapan agar tidak menyakiti orang lain, serta menjaga pikiran agar tetap bersih dari iri hati maupun kebencian. Pengalaman Pagerwesi memberi pelajaran bahwa manusia harus mampu membangun pagar batin yang kokoh. Tanpa pagar itu, hidup akan mudah goyah.

Pagerwesi juga menghadirkan ruang untuk introspeksi. Di tengah doa dan keheningan, tersadar bahwa ancaman terbesar bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri: rasa malas, putus asa, atau keinginan yang berlebihan. Semua itu bisa menghancurkan jika tidak dikendalikan. Namun, Pagerwesi hadir sebagai pengingat bahwa diri harus selalu dijaga dengan pagar besi berupa disiplin, kejujuran, dan kesabaran. Kesadaran ini menjadi bekal penting untuk menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks.

Dalam konteks kehidupan modern, pengalaman Pagerwesi memiliki relevansi yang sangat kuat. Di era ketika banyak orang sibuk mengejar materi, tradisi ini mengingatkan agar tidak melupakan keseimbangan batin. Pagar besi dapat dimaknai sebagai perlindungan dari pengaruh negatif media sosial, gaya hidup konsumtif, maupun tekanan pekerjaan. Melalui doa dan kebersamaan, manusia menemukan kekuatan untuk tetap teguh pada nilai-nilai kebaikan. Dengan demikian, Pagerwesi tidak hanya penting bagi umat Hindu, tetapi juga memberikan inspirasi universal tentang perlunya menjaga diri dalam menghadapi arus perubahan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun