Kalau bicara tentang Kalimantan Barat, mungkin yang terlintas di benakmu adalah Pontianak, sambal tempoyak, atau Sungai Kapuas. Tapi tahukah kamu bahwa di ujung barat laut Kalimantan, tepatnya di Paloh, Kabupaten Sambas, ada sebuah desa bernama Temajuk yang menyimpan kisah luar biasa soal konservasi penyu?
Ya, Temajuk bukan cuma indah karena garis pantainya yang panjang dan sepi, tapi juga karena kearifan lokal masyarakatnya dalam menjaga penyu, hewan laut yang semakin langka keberadaannya.
Pantai Temajuk: Rumah Aman bagi Penyu Bertelur
Setiap tahun, antara bulan April hingga September, puluhan bahkan ratusan ekor penyu naik ke daratan Pantai Temajuk untuk bertelur. Mereka menggali lubang di pasir, bertelur puluhan butir, lalu kembali ke laut.
Tapi di tengah ancaman perburuan telur dan rusaknya habitat di banyak tempat, masyarakat Temajuk justru punya sikap berbeda. Mereka menghormati penyu sebagai bagian dari alam yang harus dijaga.
Kearifan Lokal: “Jangan Ganggu Penyu, Bawa Sial!”
Warga lokal percaya bahwa mengambil telur penyu sembarangan bisa mendatangkan kesialan. Kepercayaan ini sudah turun-temurun, dan justru menjadi pelindung alami bagi penyu-penyu yang datang bertelur.
Anak-anak diajari sejak kecil untuk tidak menyentuh penyu yang naik ke darat, dan tidak bermain-main di sekitar sarangnya. Ini jadi bentuk pendidikan lingkungan paling dasar, tapi sangat efektif.
Gotong Royong Jaga Pantai: Selain kepercayaan adat, warga juga membentuk kelompok pelestari penyu seperti Kelompok Pelestari Penyu Temajuk (KPPT). Mereka melakukan:
- Patroli malam di sepanjang pantai untuk mengawasi penyu yang bertelur.
- Relokasi telur ke tempat yang lebih aman dari ancaman predator atau ombak.
- Pelepasan tukik (anak penyu) secara massal yang juga diikuti oleh wisatawan.
Kegiatan ini bukan cuma berdampak positif ke lingkungan, tapi juga mendorong ekowisata yang meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kearifan Lokal + Ilmu Pengetahuan = Konservasi Berkelanjutan
Uniknya, upaya masyarakat Temajuk tidak berdiri sendiri. Mereka bekerja sama dengan banyak pihak seperti WWF Indonesia, pemerintah daerah, dan relawan lingkungan. Jadi, kearifan lokal tidak ditinggalkan—malah dijadikan dasar untuk konservasi yang lebih ilmiah dan berkelanjutan.
Pelajaran dari Paloh
Dari Paloh, kita belajar bahwa konservasi alam tidak harus selalu dimulai dari laboratorium atau kebijakan pemerintah. Terkadang, ia justru lahir dari nilai-nilai adat dan kepercayaan lokal yang sederhana namun bermakna. Masyarakat Temajuk membuktikan bahwa hidup berdampingan dengan alam bukan sekadar slogan. Ini adalah warisan, dan sekaligus pilihan sadar untuk masa depan.
Yuk, kalau kamu berkunjung ke Kalimantan Barat, sempatkan mampir ke Temajuk. Jangan cuma nikmati pantainya, tapi juga belajar dari masyarakatnya tentang cara mencintai alam—dari hati, bukan hanya teori.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI